Demokrasi vs Kekuasaan: Bagaimana Rakyat Dianggap Sebagai Komoditas oleh Para Pemain Politik dan Preman
Oleh: Agus Santoso Budiharso
Indonesia, negeri demokrasi terbesar ketiga di dunia, hari ini menghadapi sebuah paradoks tragis. Demokrasi yang semestinya menjadi alat untuk memuliakan suara rakyat dan menjamin keadilan sosial, justru perlahan kehilangan ruhnya.
Di atas kertas, pemilu tetap digelar, wakil rakyat tetap dipilih, dan lembaga negara tetap beroperasi sesuai hukum. Namun, di balik formalitas tersebut, ada gejala yang mengkhawatirkan: demokrasi kita kian jauh dari cita-cita luhur yang mendasarinya.
Salah satu ironi terbesar dalam praktik demokrasi hari ini adalah munculnya relawan politik yang seolah menjadi wajah partisipasi rakyat. Mereka hadir di berbagai lini, dari media sosial hingga lapangan kampanye, membawa semangat keterlibatan masyarakat.
Namun realitasnya, banyak dari mereka bukan lagi pejuang idealisme, melainkan alat propaganda dari tokoh-tokoh yang haus kekuasaan. Ketulusan berubah menjadi transaksional, partisipasi berubah menjadi mobilisasi, dan relawan menjadi instrumen demi citra dan elektabilitas.
Semakin mengkhawatirkan, demokrasi kita saat ini diwarnai oleh tindakan kekerasan simbolis hingga fisik yang serupa dengan perilaku geng. Kegiatan kampanye seharusnya menjadi wadah pendidikan politik namun justru dipenuhi dengan tekanan dari kerumunan, ancaman, serta manipulasi opini publik.
Praktik premanisme ini bukan saja muncul dengan jelas, melainkan juga menyebar perlahan-lahan lewat ancaman daring, pengepungan kritikan, sampai pengerahkan ormas menjadi pelindung kekuatan. Di bawah situasi serupa, area bebas untuk demokrasi semakin sempit.
Keadaan tersebut mengindikasikan bahwa demokrasi kita cenderung berkonsentrasi pada aspek formal daripada esensialnya. Meskipun pemilihan umum masih diadakan, inti dari demokrasi—seperti kebebasan berekspresi, persamaan hak, serta penerimaan atas keragaman—semakin dikesampingkan.
Proses ini dilaksanakan sebagai tugas administrasi biasa, tanpa menyelami esensi sebenarnya. Sehingga, masyarakat terlibat dalam sistem, tapi pendapat mereka kurang dipertimbangkan; mereka melakukan pemilihan, namun tak mendapatkan kekuatan untuk berdampak.
Sekarang adalah waktu untuk kita berpikir dan menanyakan: bagaimana bentuk demokrasi yang sebenarnya kita ciptakan? Bisakah kita menerima situasi di mana demokrasi hanya menjadi arena bagi para pemimpin, dengan warga negara hanyalah penonton yang dipersiapkan ketika diperlukan tetapi kemudian dilewatkan begitu saja?
Demokrasi sebenarnya membutuhkan integritas, pemahaman kritis, serta keberanian untuk menentang penggunaan kekuasaan yang bermasalah. Tanpa hal tersebut, kita mungkin hanya akan jadi bangsa yang merasa bebas, padahal sesungguhnya tunduk pada kuasa palsu. Saat ini kita dihadapkan dengan fakta pahit: sistematis demokrasi formal tetap berlangsung, tapi substansi dari demokrasi itu sendiri malahan semakin tersendat.
Relawan: Dari Visi Mencapai Kegunaan Komersial
Secara mendasar, relawan politik di dalam demokrasi merupakan bentuk pemberdayaan bagi warga negara untuk berpartisipasi. Mereka menjadi representasi baru dari demokrasi, ikon ketelitian sosial, jiwa gotong royong, serta upaya bersama tanpa tujuan transaksi.
Di Indonesia, kata "relawan" semakin ke sini semakin hilangkan kemuliaannya. Ini berubah jadi alat dalam dunia politik yang digerakkan oleh bahan bakar bersifat transaksional: uang, posisi, pekerjaan, atau hanya demi ketenaran saja.
Misalkan menjelang Pemilihan Presiden tahun 2024. Banyak kelompok relawan muncul dengan cepat layaknya jamur saat musim penghujan tiba. Terdapat relawan untuk Ganjar, relawan bagi Prabowo, dan juga para pendukung Anies. Bahkan ada pula tim-tim relawan dari figur-figur politik yang belum pasti akan terlibat dalam kompetisi ini telah mulai bergerilya sejak dini.
Di belakang wajah-wajah relawan yang kelihatan gigih, banyak di antaranya sesungguhnya berasal dari pusat-pusat kekuatan finansial, jejaring pengambilan keputusan, dan kadang-kadang tim suporter bayaran. Merekia tak tumbuh dari pemahaman politik, melainkan dari latarbelakang tujuan-tujuan terselubung yang kompleks.
Para relawan pada hari ini tidak hanya bertindak sebagai alat untuk memobilisasi kampanye, melainkan juga sebagai wadah untuk membentuk opini publik secara besar-besaran di platform-media sosial. Mereka mampu mengkritik atau menyerang siapun yang berlawanan dengan pilihan mereka.
Lebih mengkhawatirkan lagi, beberapa grup relawan ikut bertransformasi menjadi tentara "mayapada maya" yang menyebarkan informasi palsu, pencurian data pribadi, serta ucapan benci. Sikap mereka ini sangat fanatis dan jauh sekali dari prinsip-prinsip demokrasi.
Relawan seperti ini sudah berubah dari semangat keikhlasan menuju peran sebagai senjata untuk memenangkan pertandingan, termasuk sebagai sarana pengancaman. Mereka bertindak mirip dengan petugas politik namun tidak memiliki panduan etika yang tegas. Akibatnya, demokrasi ikut menderita.
Politik Preman: Sisi Hitam dari Demokrasi
Lebih berbahayanya lagi adalah saat relawan politik bertemu dengan kekuatan tidak resmi di lapisan masyarakat: perilaku premanistik. Sudah bukan rahasia umum bahwa pada beberapa pemilihan kepala daerah dan bahkan pemilu nasional, gerombolan preman atau ormas sering dimanfaatkan oleh para tokoh politik guna mendominasi area tertentu, menakut-nakuti pesaing, ataupun semata-mata 'menjaga' suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Di Jakarta, kita telah mengamati bagaimana organisasi kemasyarakatan berbasis agama terlibat dalam aktivitas politik di ruang publik. Sementara itu, di wilayah lain, kelompok "preman" setempat yang memiliki latar belakang kekerasan justru menjadi pengawal kampanye atau anggota tim pemenangan. Hal ini bukan disebabkan oleh ideologi, tetapi lebih kepada pertukaran kepentingan.
Praktek preman dalam dunia politik tak sekadar timbul dalam wujud kekuatan fisika, melainkan juga hadir dengan cara simbolis serta struktural. Mereka dapat bertindak sebagai buzzer yang menyebarluaskan rasa takut, mengontrol hak untuk mendapatkan izin berkampanye, hingga memegang peranan sebagai mediator suara di belakang panggung.
Phenomenon ini tidak muncul begitu saja, tetapi berkembang dari sistem demokrasi yang lebih memfokuskan pada aturan pemilihan, sementara mengesampingkan aspek nilai moral dan etika dalam politik.
Sebagaimana yang telah disinggung dalam NU Online bahwa Titi Anggraini (pakar demokrasi Fakultas Hukum UI) mengatakan bahwa "premanisme yang terjadi di Indonesia dapat mengganggu praktik-praktik demokrasi yang sudah berjalan sedemikian rupa”
Saat pemilihan umum hanya dipandang sebagai kompetisi kemenangan daripada mekanisme untuk memilih pemimpin yang paling berkualitas, segala metode dapat dibenarkan. Bahkan perilaku premanistik mungkin digunakan sebagai sarana untuk memberikan sah pada kekuasaan.
Politik Sebagai Bisnis, Masyarakat Sebagai Subjek
Dalam suasana seperti itu, masyarakat tak lagi berperan sebagai subjek demokrasi, tetapi hanya objek. Mereka dianggap sebagai angka atau "kuantitas" suara saja, tanpa dilihat sebagai warga negara dengan hak memilih dan pemikiran sendiri. Politik kampanye bukan sekadar pertarungan gagasan dan visi, namun lebih pada persaingan kekuatan yang dibungkus dalam skala besar: industri penampilan citra diri, industri pembuat opini, industri pengerahan massa untuk upah, serta industri ancaman simbolis.
Sedihnya, seluruh situasi ini dikemas dalam cerita tentang demokrasi. Relawan digambarkan sebagai pahlawannya. Aksi di jalanan dipandang sebagai ekspresi dari kemauan masyarakat. Namun sebenarnya, di balik panggung, segala sesuatunya ditata oleh para elit berkuasa yang sudah lama menguasai teknik manipulasi demokrasi; mereka hanya perlu memiliki modal cukup serta jejaring tak resmi yang luas untuk mencapainya.
Di sisi lain, masyarakat sebenarnya — petani, pekerja lepas, nelayan, guru sukarela, serta pedagang kecil — masih terus berjuang dengan ketidakstabilan ekonomi. Mereka baru diperhitungkan pada masa pemilihan umum, dimaui janji-janji selama kampanye, namun kemudian dilupakan begitu tempat duduk telah dipenuhi kembali. Akhirnya demokrasi hanyalah sebuah pentas besar yang diciptakan melalui kerja keras rakyat dan menjadi arena bagi para pemeran yang mahir mempromosikan imajinasi tentang perubahan.
Perlu Revolusi Etika Demokrasi
Bagaimana cara menghadapi kondisi semacam ini?
Pertama-tama, kita perlu mengungkapkan dengan tegas bahwa demokrasi bukan sekadar tentang pemilihan umum setiap lima tahun. Demokrasi harus menjadi bagian integral dari kesadaran masyarakat, melibatkan pengawasan warga negara serta partisipasi yang jujur dan bijaksana. Para relawan sungguhan harus dijamin perlindungan terhadap co-optation kekuasaan. Gerakan rakyat tak boleh disalahgunakan oleh elit yang cuma memburu kedudukan saja.
Kedua, negara harus tegas terhadap praktik premanisme politik. Penegak hukum tidak boleh tunduk pada tekanan massa atau ormas. Semua bentuk intimidasi, kekerasan politik, dan transaksi suara harus diberantas tanpa pandang bulu. Kepolisian, Bawaslu, dan KPU harus berani menjadi penjaga moral demokrasi, bukan sekadar administrator pemilu.
Ketiga, media serta masyarakat sipil perlu secara konsisten mengungkap ketidakjujurannya dalam ranah politik. Siapakah penggerak di balik relawan tersebut? Bagaimana asal-usul mereka? Adakah hubungan mereka dengan para elit? Seri pertanyaan seperti itu seharusnya selalu ditanyakan. Demokrasi sangat bergantung pada kesadaran akan hal-hal yang jelas, dan untuk mencapainya diperlukan berani menyuarakan apa adanya.
Keempat, pembangunan kesadaran politik perlu ditingkatkan khususnya pada kaum muda. Pastikan jangan sampai generasi penerus berkembang dengan sikap acuh tak acuh atau pesimis tentang politik. Mereka harus dipahami akan pentingnya fakta bahwa demokrasi adalah sesuatu yang tidak didapat secara cuma-cuma melainkan suatu hal yang harus dirawat dan dibela.
Akhirnya, Pulang Ke Jantung Pemasyarakat
Demokrasi yang kondusif baru bisa berkembang apabila warga negara diposisikan kembali sebagai pelaku utama dalam urusan pemerintahan, bukannya sekadar instrumen bagi para pemegang kuasa. Pengabdian sukarela harus diubah fungsi nya dari sarana perdagangan menjadi ekstensi jati diri idealis. Sementara itu, praktik demokratis harus dikembalikan kepada pertimbangan moralitas, daripada terpengaruh oleh aturan bisnis atau tekanan massa.
Apabila tidak, kita cuma bakal melihat demokrasi sebatas sebuah ilusi: boleh memilih secara bebas, namun tak sungguh-sungguh memberikan pengaruh. Model demokrasi semacam itu hanyalah cara untuk menjaga kuasa bruta; tampak halus dan ramah di hadapan publik tetapi sesungguhnya erat dan keras dalam jalannya dibelakang panggung.
Saatnya masyarakat menyadarinya. Demokrasi tak sekadar tentang menyeleksi para pemimpin yang ahli dalam memberikan janji manis, melainkan lebih pada pembangunan sebuah sistem yang bersifat adil, transparan, serta jujur. Sistem seperti ini baru dapat terealisasikan apabila relawan tidak lagi menjulangi kalangan elit, dan perilaku intimidatif tidak lagi digunakan untuk mengamankan kuasa mereka. ***
*Penulis merupakan seorang penganalisis demokrasi dan dosen di Universitas Prisma Manado.*
Posting Komentar untuk "Demokrasi vs Kekuasaan: Bagaimana Rakyat Dianggap Sebagai Komoditas oleh Para Pemain Politik dan Preman"
Posting Komentar