Hari monyet sedunia: Bukan sekadar lelucon, panggilan darurat untuk primata Sumatera saat musibah ekologis

JURNAL GAYA - 14 Desember diperingati sebagai Hari Monyet Sedunia atau World Monkey Day yang memiliki makna mendalam.
Meskipun awalnya dicetuskan pada tahun 2000 sebagai lelucon ringan oleh sepasang mahasiswa seni, Casey Sorrow dan Eric Millikin, peringatan Hari Monyet Sedunia kini telah bertransformasi menjadi sebuah gerakan global yang penting.
Tujuan Hari Monyet Sedunia adalah meningkatkan kesadaran publik mengenai konservasi monyet, kera, dan semua primata lainnya, serta menyoroti ancaman yang mereka hadapi di alam liar.
Di Indonesia, peringatan ini memiliki resonansi yang sangat kuat, terutama ketika kita menoleh pada kondisi lingkungan dan satwa di Pulau Sumatera yang belakangan ini kerap dilanda berbagai musibah, mulai dari bencana alam hingga krisis ekologis yang dipicu oleh aktivitas manusia.
Primata Sumatera: Korban Tak Terlihat di Tengah Bencana
Sumatera adalah rumah bagi sejumlah spesies primata yang sangat karismatik dan unik di dunia, seperti Orang Utan Sumatera (Pongo abelii), Siamang (Symphalangus syndactylus), Owa Jawa (Hylobates moloch), dan berbagai jenis monyet, termasuk Beruk dan Kera Ekor Panjang.
Sayangnya, banyak dari mereka yang kini berada dalam status Kritis (Critically Endangered) atau Terancam Punah (Endangered).
Lantas, apa kaitan Hari Monyet Sedunia dengan musibah yang melanda Sumatera?
Kaitannya terletak pada kerusakan habitat yang masif. Musibah di Sumatera, terutama yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) serta ekspansi perkebunan ilegal, secara langsung merampas rumah para primata ini.
Kebakaran hutan, yang seringkali terjadi di musim kemarau panjang, bukan hanya menghilangkan vegetasi, tetapi juga memutus rantai makanan, menyebabkan dehidrasi parah, dan membuat populasi primata rentan terhadap perburuan liar dan konflik dengan manusia.
Primata adalah indikator penting kesehatan ekosistem. Mereka berperan sebagai agen penyebar biji-bijian alami, yang esensial dalam regenerasi hutan yang telah rusak.
Ketika habitat mereka—hutan hujan tropis—lenyap akibat musibah, seluruh keseimbangan ekologis ikut runtuh.
Mereka terpaksa keluar dari hutan yang tersisa, memicu konflik satwa-manusia, di mana monyet atau orang utan memasuki lahan pertanian atau pemukiman warga untuk mencari makan, yang seringkali berakhir tragis bagi satwa tersebut.
Momentum Edukasi dan Aksi Nyata
Peringatan Hari Monyet Sedunia pada 14 Desember harus dijadikan momentum refleksi dan aksi.
Ini adalah panggilan untuk menyadari bahwa perlindungan primata bukan sekadar isu satwa, melainkan isu kelangsungan lingkungan hidup secara keseluruhan. Upaya konservasi tidak bisa dipisahkan dari pencegahan musibah ekologis.
Apa yang Dapat Kita Lakukan?
- Dukung Konservasi: Salurkan dukungan ke lembaga yang aktif di garis depan perlindungan primata di Sumatera.
- Edukasi Masyarakat: Sebarkan kesadaran tentang pentingnya hutan yang sehat dan peran vital primata di dalamnya.
- Hentikan Perdagangan Ilegal: Tolak keras praktik memelihara primata liar sebagai hewan peliharaan, yang berkontribusi pada penangkapan ilegal dan kerusakan populasi.
- Aksi Ramah Lingkungan: Dukung produk berkelanjutan yang tidak merusak hutan, dan ikut serta dalam kampanye melawan deforestasi.
Lebih dari sekadar hari libur unik, Hari Monyet Sedunia menjadi pengingat pahit tentang kerapuhan kehidupan liar di tengah musibah yang terus berulang di bumi Sumatera.
Perlindungan primata adalah tanggung jawab bersama untuk memastikan bahwa kekayaan hayati Indonesia tidak hanya menjadi cerita di buku sejarah, melainkan tetap lestari di alamnya.***
Posting Komentar untuk "Hari monyet sedunia: Bukan sekadar lelucon, panggilan darurat untuk primata Sumatera saat musibah ekologis"
Posting Komentar