Di Balik Kata "Sah" Akibat Nikah Siri untuk Perempuan

Sering kali, pernikahan siri dibungkus dalam narasi kemudahan. "Yang penting sah di mata agama," begitu dalih yang sering terdengar. Tujuannya mulia: menghindari zina dan menyegerakan ibadah. Namun, ketika euforia akad telah mereda dan realita kehidupan rumah tangga dimulai, perempuan sering kali menjadi pihak yang berdiri di tepi jurang---tanpa pagar pengaman, terutama ketika berbicara soal kesehatan.

Dari perspektif kesehatan, nikah siri bukan sekadar urusan administrasi negara yang "bisa diurus nanti". Ia adalah tembok tebal yang menghalangi perempuan dari hak dasarnya untuk sehat, aman, dan sejahtera.

Tembok Birokrasi saat Tubuh Terluka

Di Indonesia, sistem jaminan kesehatan nasional (BPJS Kesehatan) sangat bergantung pada validitas data kependudukan (Kartu Keluarga). Dalam pernikahan siri, seorang istri tidak bisa masuk ke dalam Kartu Keluarga (KK) suaminya sebagai "Istri".

Bayangkan skenario ini: Sang istri jatuh sakit parah atau harus menjalani operasi darurat.

Hambatan Akses: Ia tidak bisa didaftarkan sebagai tanggungan suami dalam BPJS PBI (Penerima Bantuan Iuran) atau BPJS Perusahaan tempat suami bekerja.

Biaya Mandiri: Segala biaya pengobatan harus ditanggung sendiri. Jika suami "lepas tangan"---hal yang sangat mudah dilakukan dalam nikah siri karena tidak ada ikatan hukum---perempuanlah yang harus berjuang sendirian dengan tubuh yang sakit.

Pertaruhan Nyawa di Meja Persalinan

Fase kehamilan dan persalinan adalah momen paling krusial bagi kesehatan fisik seorang perempuan. Tanpa buku nikah, akses terhadap layanan kesehatan ibu dan anak (KIA) yang komprehensif sering kali terhambat secara administratif.

Lebih menakutkan lagi adalah risiko penelantaran. Secara medis, stres akibat ketidakpastian finansial saat hamil dapat memicu preeklamsia atau kelahiran prematur. Jika suami siri pergi begitu saja saat biaya persalinan membengkak, beban mental dan fisik yang ditanggung ibu dapat berakibat fatal bagi dirinya dan bayinya.

Luka Batin: Kesehatan Mental yang Tergerus

Kesehatan bukan hanya soal fisik, tapi juga mental. Perempuan dalam pernikahan siri hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian (insecurity) yang kronis.

Kecemasan Konstan: Rasa takut ditinggalkan sewaktu-waktu tanpa bisa menuntut hak nafkah atau harta gono-gini menciptakan kecemasan (anxiety) berkepanjangan.

Posisi Tawar yang Lemah: Dalam kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), istri siri sulit menggunakan UU Penghapusan KDRT secara maksimal karena sulit membuktikan adanya ikatan perkawinan yang sah secara negara. Kondisi terjebak dalam hubungan (abusive)  ini adalah resep utama depresi berat dan trauma psikologis.

Dampak pada Kesehatan Generasi Penerus

Anak yang lahir dari pernikahan siri, meskipun kini bisa mendapatkan akta kelahiran, sering kali hanya mencantumkan nama ibunya (nasab ibu). Secara tidak langsung, ini membebankan seluruh tanggung jawab kesehatan anak kepada ibu. Jika sang ibu sakit atau tidak mampu secara finansial karena tidak adanya nafkah yang mengikat hukum dari ayah, akses anak terhadap gizi (mencegah stunting) dan imunisasi dasar bisa terabaikan. Kesehatan anak menjadi korban dari keputusan orang tuanya.

Sebuah Renungan

Menikah secara sah di mata negara bukan sekadar mematuhi hukum duniawi. Itu adalah bentuk proteksi kesehatan tertinggi yang bisa diberikan seorang laki-laki kepada pasangannya. Buku nikah adalah "asuransi" yang menjamin bahwa ketika sakit, istri punya hak untuk dirawat. Ketika hamil, ia punya hak untuk dilindungi. Dan ketika jiwanya lelah, ia punya payung hukum untuk berteduh.

Bagi perempuan, menyadari risiko ini adalah langkah awal untuk menyayangi diri sendiri. Kesehatanmu, fisik maupun mental, terlalu berharga untuk diletakkan di atas janji yang tidak memiliki kekuatan hukum.

Posting Komentar untuk "Di Balik Kata "Sah" Akibat Nikah Siri untuk Perempuan"