Apakah buku ditinggalkan di era media sosial? Masalahnya bukan minat baca, tapi akses - MENGGAPAI ASA

Apakah buku ditinggalkan di era media sosial? Masalahnya bukan minat baca, tapi akses

PIKIRAN RAKYAT - Arus digitalisasi, terutama kehadiran media sosial, mengubah banyak kebiasaan, termasuk membaca buku. Di kalangan anak muda, kebiasaan membaca bergeser dari buku fisik ke platform digital seperti e-book

 

Indah (25), mengaku lebih sering membaca buku digital untuk kebutuhan akademik. “Biasanya lewat Google Docs atau PDF karena lebih fleksibel, bisa dibuka kapan aja,” ujarnya kepada Pikiran Rakyat beberapa waktu lalu.

Namun, untuk bacaan nonakademik seperti novel, Indah justru masih memilih buku fisik. "Karena lebih fokus bacanya, tidak terdistraksi,” ujarnya.

Hal serupa diungkapkan Aufa (24), yang mengaku porsi membaca digital lebih dominan karena aksesnya cepat. Meski begitu, ia menyadari keterbatasan buku digital. “Buku digital bikin gampang terdistraksi, saya lebih fokus saat membaca buku digital," katanya.

Pengalaman membaca yang lebih fokus juga dirasakan oleh Syahida (21) yang sudah terbiasa membaca buku sejak kecil. Menurutnya, buku fisik memberikan pengalaman yang tidak tergantikan, membaca buku bukan cuma soal isinya, tapi pengalaman berinteraksi dengan bukunya.

“Saya suka membaca ulang. Saya anotasi dan tandai karena suatu saat saya pengen baca ulang bagian-bagian yang saya suka, ” tuturnya.

Meski praktis, membaca buku lewat layar tidak selalu memberikan kenyamanan. Beberapa anak muda mengaku mengalami kelelahan mata setelah terlalu lama membaca buku digital. 

“Kalo abis baca buku digital tuh sering pusing, matanya perih. Tapi tetap mau baca karena fleksibel,” ujar Rofina (22).

Syahida menilai, membaca buku fisik menjadi cara untuk beristirahat dari kebisingan digital. “Kalo kebanyakan scroll media sosial tuh lama-lama burnout. Jadi, membaca buku fisik adalah salah satu sarana untuk mengistirahatkan pikiran terus juga menepi sejenak dari rutinitas,” katanya.

Wildan (24) menolak anggapan bahwa buku fisik telah ditinggalkan. “Menurut aku, enggak sepenuhnya benar. Karena yang aku liat terutama di lingkungan aku anak anak muda justru banyak yang engage sama buku sampai-sampai membuat komunitas baca untuk mereka sendiri,” ujarnya.

Masalahnya adalah Akses

Bukan minat baca yang rendah, tapi akses terhadap buku yang sulit. Pegiat literasi, Deni Rachman, menjelaskan bahwa mahalnya harga buku tidak lepas dari panjangnya rantai industri perbukuan.

“Perbukuan itu melibatkan banyak aktor, dari penulis, penerbit, percetakan, distributor, sampai toko buku. Belum lagi harga kertas yang terus naik,” katanya.

Menurut Deni, kondisi ini membuat kemampuan beli anak muda terbatas. “Rata-rata kemampuan mahasiswa itu di bawah 50 ribu. Ketika tahu harga buku tertentu di atas Rp100 ribu, akhirnya mereka pilih buku yang lebih murah atau nggak beli sama sekali,” katanya.

Situasi ini pula yang mendorong sebagian pembaca memilih buku bekas atau thriftingMenurut Deni, fenomena thrifting buku justru menjadi solusi alternatif. “Daripada beli bajakan, mending cari buku bekas. Ini salah satu siasat agar anak muda tetap bisa membaca buku fisik,” ujarnya.

 

Kepala Dinas Arsip dan Perpustakaan Kota Bandung, Dewi Kaniasari, S.Sos., MA., sepakat bahwa tantangan literasi hari ini bukan minat baca, tetapi akses.

“Anak muda sebenarnya masih punya minat baca, termasuk buku fisik. Tantangannya ada di harga dan akses,” ujarnya. 

Menurut data Disarpus, anak muda berusia 17-25 tahun menjadi peminjam paling aktif, mencapai 6.493 orang di tahun 2024 sampai bulan Oktober. Angka ini membuktikan bahwa minat baca buku fisik anak muda relatif tinggi.

Untuk semakin memperluas akses, Disarpus Kota Bandung mengembangkan berbagai inovasi, mulai dari program literasi kreatif hingga penguatan perpustakaan digital. Ke depan, Disarpus juga merencanakan kolaborasi dengan pihak swasta untuk memperluas akses perpustakaan digital di ruang publik.

“Ke depan, masyarakat bisa mengakses perpustakaan digital lewat barcode yang ditempatkan di ruang-ruang publik, seperti tempat wisata atau lokasi berkumpul anak muda,” kata Dewi. (Salma Sabila Azka, Amalya Indah Puspita, Muhammad Panji Abdurrahman)***

Posting Komentar untuk "Apakah buku ditinggalkan di era media sosial? Masalahnya bukan minat baca, tapi akses"