Wajib militer di berbagai negara: Antara kebutuhan pertahanan dan pembentuk identitas nasional - MENGGAPAI ASA

Wajib militer di berbagai negara: Antara kebutuhan pertahanan dan pembentuk identitas nasional

menggapaiasa.com Wajib militer (wamil) telah lama menjadi bagian dari kebijakan pertahanan di berbagai negara. Namun, lebih dari sekadar kewajiban bela negara, wamil juga mencerminkan bagaimana suatu bangsa membentuk identitas nasional dan solidaritas antarwarga. Di tengah dinamika geopolitik global, beberapa negara bahkan kembali menghidupkan kebijakan ini sebagai respons terhadap ancaman keamanan yang meningkat.

Jerman, misalnya, yang sempat menghapus wamil pada 2011, kini tengah mempertimbangkan untuk mengembalikannya dalam bentuk baru. Kementerian Pertahanan Jerman menyebutnya sebagai “layanan militer baru” yang akan dimulai secara sukarela, namun menjadi wajib bagi pria berusia 18 tahun mulai 2027.

“Anak muda diwajibkan mengisi kuesioner sebagai bagian dari proses seleksi,” tulis situs resmi Kementerian Pertahanan Jerman seperti dikutip Deutsche Welle (DW).

Langkah serupa juga diambil oleh Kroasia. Setelah 17 tahun tanpa wamil, negara Balkan ini memutuskan untuk mengaktifkan kembali wajib militer pada 2025. Menteri Pertahanan Ivan Anusic menyatakan bahwa keputusan ini diambil karena meningkatnya ancaman keamanan regional, terutama akibat konflik Rusia-Ukraina.

“Ancaman ini menuntut respons cepat dan efektif dari seluruh elemen masyarakat,” ujarnya seperti dilaporkan Al Jazeera.

Di sisi lain, negara seperti Korea Selatan tetap mempertahankan wamil sebagai bagian penting dari identitas nasional. Setiap pria dewasa diwajibkan menjalani pelatihan militer selama sekitar dua tahun. Bagi banyak warga Korea, wamil bukan hanya kewajiban, tetapi juga simbol kedewasaan dan kontribusi terhadap negara. Bahkan, selebritas pun tak luput dari kewajiban ini, yang menunjukkan bahwa hukum berlaku setara bagi semua.

Sementara itu, Israel menjadikan wamil sebagai bagian integral dari kehidupan warganya, baik pria maupun wanita. Layanan militer di sana tidak hanya berfungsi sebagai alat pertahanan, tetapi juga sebagai ruang pembentukan karakter dan integrasi sosial. Banyak warga Israel menganggap masa wamil sebagai pengalaman yang membentuk kedewasaan dan rasa tanggung jawab terhadap negara.

Namun, tidak semua negara melihat wamil sebagai solusi ideal. Beberapa negara Eropa Barat seperti Prancis dan Inggris lebih memilih militer profesional. Mereka menilai bahwa efisiensi dan kesiapan tempur lebih baik dicapai melalui pelatihan jangka panjang dan sukarela. Meski demikian, diskusi tentang wamil tetap muncul, terutama saat terjadi krisis keamanan.

Wamil juga sering menjadi perdebatan antara hak individu dan kepentingan negara. Di beberapa negara, kelompok masyarakat sipil menolak wamil karena dianggap melanggar kebebasan pribadi. Namun, pendukungnya berargumen bahwa wamil memperkuat rasa kebangsaan dan solidaritas lintas kelas sosial.

Dalam konteks global, wamil mencerminkan bagaimana negara-negara menyeimbangkan antara kebutuhan pertahanan dan pembentukan identitas kolektif. Negara-negara Nordik seperti Swedia dan Norwegia, misalnya, menerapkan sistem selektif yang tetap mempertahankan unsur kesetaraan dan partisipasi warga.

Di era digital dan globalisasi, tantangan terhadap konsep wamil semakin kompleks. Generasi muda yang tumbuh dengan nilai-nilai individualisme dan mobilitas global sering kali mempertanyakan relevansi wamil. Namun, di sisi lain, krisis global seperti pandemi dan konflik bersenjata justru memperkuat argumen bahwa solidaritas nasional tetap penting.

Wamil bukan sekadar pelatihan militer. Ia adalah cermin dari bagaimana suatu bangsa memandang dirinya sendiri, membentuk warganya, dan merespons dunia yang terus berubah. Dalam banyak kasus, wamil menjadi panggung tempat nilai-nilai kebangsaan diuji dan dibentuk, menjadikannya lebih dari sekadar kewajiban, melainkan bagian dari narasi besar tentang siapa kita sebagai bangsa. (*)

Posting Komentar untuk "Wajib militer di berbagai negara: Antara kebutuhan pertahanan dan pembentuk identitas nasional"