Tiongkok menanam 78 miliar pohon demi atasi krisis iklim, namun menggeser siklus air dan memicu risiko baru

menggapaiasa.com— Selama lebih dari empat dekade, Tiongkok membangun salah satu proyek lingkungan paling ambisius dalam sejarah modern, yakni menanam sekitar 78 miliar pohon sejak awal 1980-an. Langkah ini dipuji dunia sebagai strategi besar melawan erosi tanah, perluasan gurun, dan krisis iklim.
Namun, temuan ilmiah terbaru menunjukkan bahwa penghijauan masif tersebut tidak hanya mengubah lanskap, tetapi juga menggeser siklus air nasional dengan konsekuensi yang kompleks dan berisiko.
Sejak peluncuran proyek Three-North Shelterbelt Forest Program (TSFP) atau Tembok Hijau Besar pada 1978, Tiongkok secara konsisten memperluas luas hutan nasionalnya.
Data Reuters mencatat, penanaman pohon dalam skala besar telah menambah luas hutan sekitar 116.000 mil persegi, sehingga cakupan hutan nasional meningkat dari sekitar 10 persen pada 1949 menjadi hampir 25 persen pada 2024. Program lanjutan seperti Grain for Green dan Natural Forest Protection Program kemudian mempercepat perubahan tutupan lahan dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Namun, di balik capaian ekologis tersebut, para ilmuwan mulai menyoroti konsekuensi lingkungan yang tidak sepenuhnya terantisipasi.
Melansir Popular Mechanics, Senin (15/12/2025), studi terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Earth’s Future mengungkap bahwa ekspansi vegetasi berskala besar ini telah mengubah sistem hidrologi Tiongkok, memindahkan kelembapan dari satu wilayah ke wilayah lain. Akibatnya, sebagian daerah menerima lebih banyak curah hujan, sementara wilayah lain justru mengalami penurunan ketersediaan air.
Para peneliti dari Tianjin University, China Agricultural University di Beijing, dan Utrecht University di Belanda menemukan bahwa selama periode 2001–2020, peningkatan vegetasi secara signifikan mengurangi sumber daya air di wilayah monsun timur dan kawasan barat laut yang kering. Padahal, dua wilayah ini mencakup sekitar 74 persen total daratan Tiongkok, sekaligus menjadi penopang utama pertanian dan permukiman.
Akar persoalan utama terletak pada peningkatan evapotranspirasi, yakni gabungan proses penguapan dan pelepasan uap air oleh tanaman melalui pori-pori daun (stomata). Dalam studi tersebut, para penulis menyatakan, “Perubahan ini mengalihkan lebih banyak kelembapan ke Dataran Tinggi Tibet, yang mengalami peningkatan ketersediaan air.” Sebaliknya, “wilayah timur dan barat laut Tiongkok mengalami penurunan ketersediaan air, dengan wilayah barat laut mengalami kehilangan terbesar.”
Arie Staal, peneliti dari Utrecht University, menjelaskan dampak paradoks dari strategi ini. “Tiongkok melakukan penghijauan dalam skala yang sangat besar, dan itu mengaktifkan kembali siklus air. Namun, pada skala lokal, justru lebih banyak air yang hilang dibandingkan sebelumnya," ujarnya, seperti dikutip Live Science. Uap air yang dilepas ke atmosfer tidak selalu kembali sebagai hujan di wilayah asalnya.
Perubahan jenis tutupan lahan juga berperan penting. Studi tersebut mencatat bahwa alih fungsi padang rumput menjadi hutan memang meningkatkan curah hujan dan penguapan, tetapi secara bersamaan menurunkan ketersediaan air bersih. Transisi dari lahan pertanian ke padang rumput menunjukkan dampak yang berbeda, menegaskan bahwa tidak semua penghijauan menghasilkan efek hidrologis yang seragam.
Ketimpangan ini menjadi semakin krusial karena distribusi air di Tiongkok sejak awal tidak merata. Wilayah utara menampung sekitar 46 persen populasi dan lebih dari separuh lahan pertanian, tetapi hanya memiliki sekitar 20 persen dari total ketersediaan air nasional. Pergeseran siklus air akibat penghijauan masif berpotensi memperbesar tekanan struktural terhadap ketahanan pangan dan air.
Namun, para peneliti menegaskan bahwa temuan ini bukan kritik terhadap reforestasi, melainkan peringatan strategis. “Temuan kami menunjukkan bahwa perubahan tutupan lahan dapat mendistribusikan ulang sumber daya air antarwilayah,” tulis para penulis studi tersebut. “Memahami dampak ini sangat penting untuk perencanaan pengelolaan lahan dan air yang berkelanjutan.”
Bagi dunia, pengalaman Tiongkok menjadi pelajaran global. Di tengah dorongan besar untuk menanam pohon sebagai solusi iklim, studi ini menegaskan bahwa strategi lingkungan berskala raksasa harus dirancang dengan pemahaman menyeluruh tentang hubungan antara vegetasi, air, dan manusia. Tanpa itu, ambisi hijau berisiko melahirkan tantangan baru yang tak kalah besar. (*)
Posting Komentar untuk "Tiongkok menanam 78 miliar pohon demi atasi krisis iklim, namun menggeser siklus air dan memicu risiko baru"
Posting Komentar