Peneliti BRIN Sebut tak Sulit Analisa Banjir Sumatera, Soroti 'Brutalisme' Kelapa Sawit - MENGGAPAI ASA

Peneliti BRIN Sebut tak Sulit Analisa Banjir Sumatera, Soroti 'Brutalisme' Kelapa Sawit

menggapaiasa.com.CO.ID, JAKARTA — Banjir bandang dan tanah longsor di wilayah Sumatera tak lepas dari faktor ‘brutalisme’ perkebunan kelapa sawit. Ekspansif perkebunan monokultural itu menggunduli kawasan-kawasan hutan alami dan dataran tinggi sehingga memperparah dampak bencana tanah longsor dan banjir bandang alias galodo.

Peneliti Senior Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi BRIN, Sugeng Budiharta menilai Presiden Prabowo Subianto perlu mengevaluasi total model ekspansif perkebunan kelapa sawit mengacu pada zonasi berdasarkan kriteria geologis maupun geografis. Menurutnya, tak sulit menganalisa apa sebab bencana banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi di Provinsi Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar) saat ini.

Meskipun bukan menjadi faktor atau penyebab tunggal, namun kata Sugeng, ekspansif perkebunan kelapa sawit ke kawasan-kawasan hutan alami di dataran-dataran tinggi yang bercurah hujan tinggi menjadi salah-satu faktor penyebab.

“Secara keilmuan, sebenarnya tidak sulit untuk menganalisa penyebab dari apa yang terjadi (banjir bandang dan tanah longsor di Sumatera) ini. Ekspansif perkebunan kelapa sawit, dan juga pertambangan ilegal merupakan kondisi yang harus dievaluasi,” kata Sugeng kepadamenggapaiasa.com, Rabu (3/12/2025).

Di Sumatera, Sugeng menerangkan, merupakan wilayah dengan landscape lereng-lereng perbukitan dataran tinggi, dan pegunungan, dengan kontur tanah vulkanis gembur subur, juga bercurah hujan tinggi. Geografis dan geologis di Sumatera itu, kata Sugeng, sebetulnya tak cocok untuk ekspansif perkebunan monolultural seperti kelapa sawit.

“Bentang alam di Sumatra itu kan umumnya bergunung-gunung dan berbukit-bukit dengan kelerengan cukup terjal. Di situ juga tanahnya vulkanik yang gembur dan subur dengan curah hujan tinggi. Dengan kondisi seperti itu memang sangat rawan longsor dan banjir bandang. Untuk itu harus dijaga tutupan hutannya dan tidak boleh ada pembukaan lahan secara ekstensive termasuk untuk kebun sawit apalagi tambang,” ujar Sugeng.

Kondisi alam di Sumatera yang begitu, kata Sugeng, yang menjadikan Pulau Andalas sejak zaman dulu, pun sampai era kolonialisme Belanda sekalipun, sebagai kawasan hutan yang dilindungi. “Zaman Belanda, kawasan-kawasan seperti Sumatera itu ditetapkan sebagai hutan lindung untuk mencegah terjadinya banjir bandang dan tanah longsor,” kata Sugeng.

Masyarakat asli di Sumatera, pun sejak lama kala mempertahankan prinsip pengelolaan lahan hutan untuk perkebunan yang beragam. Prinsip tersebut, secara keilmuan modern saat ini lebih relevan.

“Masyarakat lokal dengan kearifan lokalnya juga sebenernya telah memahami alamnya lalu mengembangkan caranya sendiri dalam mengelola lahan dengan sistem agroforestri karena mereka tahu lahannya rentan longsor,” ujar Sugeng.

Sugeng berpandangan tak heran sebenarnya melihat brutalisme ekspansif perkebunan kelapa sawit di Sumatera, yang membabat hutan-hutan alami di dataran tinggi bercurah hujan lebat dengan kontur tanah gembur membuat kengerian banjir bandang dan tanah longsor.

“Dengan ilmu, logika sederhana dan pengetahuan lokal pun sebenernya sangat berbahaya membuka hutan di kawasan dengan karakteristik seperti itu,” ujar Sugeng.

Sugeng mengatakan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) ketika masih bernama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pernah meriset tentang perkebunan kelapa sawit yang berada di Sumatera, dan Kalimantan.

Dari hasil riset para ilmuan dalam negeri tersebut, sebetulnya dapat menjadi acuan bagi pemerintah. Terutama dalam menerbitkan regulasi-regulasi yang tegas, terkait dengan pentingnya batasan-batasan mengacu pada zonasi berdasarkan kriteria geologis maupun geografis untuk perkebunan kelapa sawit.

“Jadi kedepannya, kawasan-kawasan rentan tersebut harus dijaga jika masih ada hutannya dan direstorasi jika sudah terlanjur terbuka. Bila perlu ada moratorium pembukaan hutan di kawasan-kawasan rentan tersebut!,” begitu kata Sugeng.

Banjir bandang dan tanah longsor menyapu tiga provinsi di Sumatera, di Aceh, Sumut, dan di Sumbar. Hingga saat ini penanganan bencana masih terus dilakukan. Tercatat hingga Rabu (3/12/2025) lebih dari 700 warga meninggal dunia di tiga provinsi tersebut.

Ratusan warga lainnya juga masih dinyatakan hilang. Sementara jumlah pengungsian menurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) lebih dari setengah juta jiwa. Banjir bandang dan tanah longsor di Sumatera ini, bukan kali yang pertama. Namun kali ini, menjadi yang terparah.

Diperkirakan juga, ragam flora dan fauna langka terlindungi, pun menjadi korban dari bencana banjir bandan dan tanah longsor tersebut.

Sejumlah pengamat, dan pegiat lingkungan menyalahkan masifnya perkebunan kelapa sawit dan tambang yang menggunduli hutan-hutan alami di Sumatera sebagai salah satu penyebab bencana itu. Akan tetapi hingga kini, pemerintahan Presiden Prabowo membantah adanya hubungan antara pembabatan hutan-hutan alami untuk perkebunan kelapa sawit, maupun pertambangan itu sebagai penyebab utama terjadinya bencana itu.

Posting Komentar untuk "Peneliti BRIN Sebut tak Sulit Analisa Banjir Sumatera, Soroti 'Brutalisme' Kelapa Sawit"