Banjir Bandang Sumatera, Walhi Riau: Bukan Bencana Biasa, Ini akibat Deforestasi Masif

PEKANBARU, menggapaiasa.com - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau menyebut rangkaian bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dalam beberapa hari terakhir bukan semata bencana alam, melainkan akibat deforestasi masif.
“Bencana di Aceh, Sumatera Utara, serta Sumatera Barat dalam beberapa hari terakhir bukan semata bencana alam, melainkan bencana ekologi akibat deforestasi masif,” ujar Dewan Daerah Walhi Riau, Darwis Jon Viker kepada menggapaiasa.commelalui keterangan tertulis, Rabu (3/12/2025).
Darwis mengatakan ekspansi perkebunan kelapa sawit, Hutan Tanaman Industri (HTI), dan pertambangan telah menghancurkan hutan tropis yang berfungsi sebagai penyangga air dan pelindung Daerah Aliran Sungai (DAS). Kondisi ini diperparah oleh tata kelola lingkungan yang buruk serta kebijakan negara yang dinilai permisif terhadap pelanggaran kawasan hutan.
“Riau sendiri berada dalam ancaman yang sama dan semakin nyata. Lebih dari separuh wilayah provinsi ini telah dikuasai industri ekstraktif: data olahan Walhi Riau menunjukkan 4,9 juta hektare atau 55,48 persen lahan Riau telah beralih fungsi menjadi perkebunan monokultur kelapa sawit skala besar dan konsesi pertambangan,” ungkap Darwis.
TLH Walhi Riau mencatat sejak era perizinan masif dimulai tahun 1983, provinsi ini kehilangan 5,37 juta hektare atau 59,73 persen tutupan hutan alam. Penguasaan lahan oleh industri ekstraktif dinilai berbanding lurus dengan kerusakan lingkungan yang masif.
Secara geografis, Riau adalah dataran rendah yang dilalui lima sungai besar, sehingga sangat rentan banjir. Darwis menyebut seluruh kabupaten dan kota di Riau masuk kelas risiko tinggi banjir berdasarkan Kajian Risiko Bencana Nasional 2022–2026, tetapi baru Kabupaten Rokan Hulu yang menetapkan status siaga darurat hidrometeorologi.
Darwis juga mengingatkan bahwa kondisi hidrometeorologi di Sumatera saat ini berada pada fase ekstrem. Dua provinsi tetangga, Sumatera Barat dan Sumatera Utara, telah menetapkan status darurat bencana, sementara curah hujan ekstrem disebut berpotensi membawa limpahan massa air ke Riau.
“Pulau Sumatera sedang darurat bencana, dan Riau berada tepat di lingkaran bahaya yang sama. Lambannya pemerintah menetapkan status siaga darurat hanya akan memperbesar risiko, serta meninggalkan masyarakat dalam ketidakpastian dan kerentanan yang tidak perlu,” kata Darwis.
Ia menegaskan pemerintah memiliki kewajiban melakukan pencegahan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 dan berbagai regulasi turunannya. Namun praktik di lapangan dinilai menunjukkan kerangka kebijakan tidak berjalan efektif.
Riau tidak hanya menghadapi ancaman banjir dan longsor, tetapi juga abrasi, penurunan muka tanah, banjir rob, serta kebakaran hutan dan lahan. “Dalam catatan BPBD Riau sepanjang tahun 2025 sekitar seribu hektare hutan dan lahan telah terbakar,” ujar Darwis. Hal itu membuat status Riau meningkat menjadi tanggap darurat karhutla pada Juli lalu.
Analisis spasial Walhi Riau melalui satelit Aqua dan Terra menunjukkan ada 434 titik panas sepanjang periode 1 Mei sampai 2 Desember 2025, tersebar di sembilan kabupaten dan kota. Kabupaten Rokan Hulu dan Rokan Hilir menempati urutan teratas.
Direktur Walhi Riau, Eko Yunanda, menilai pemerintah masih mengandalkan penanganan darurat alih-alih pencegahan.
“Selama pemerintah hanya menangani bencana setelah terjadi, biaya sosial dan ekologis akan terus meningkat. Tanpa evaluasi mendalam terhadap penyebab struktural seperti kerusakan DAS, deforestasi, dan ekspansi industri, bencana akan berulang dan bahkan semakin parah. Hingga hari ini tidak ada solusi nyata yang mencegah tragedi ekologis di Riau terjadi berulang kali,” kata Eko.
Ia mengatakan situasi darurat di Sumatera seharusnya menjadi peringatan keras bagi Riau karena kerusakan ekologis tidak mengenal batas administratif.
“Bencana hari ini adalah akibat langsung dari kebijakan yang bertahun-tahun mengorbankan lingkungan demi keuntungan korporasi. Selama negara tetap mempertahankan tata kelola pro-ekstraktif, masyarakat akan terus menjadi korban dari krisis ekologis yang sebenarnya bisa dicegah,” terang Eko.
Sementara itu, Ketua Badan Pengurus Kaliptra Andalas, Romes Irawan Putra, meminta pemerintah bergerak cepat menghadapi ancaman banjir di wilayah sekitar sungai besar. Ia menilai potensi banjir akan sangat tinggi jika curah hujan meningkat.
“Jika pemerintah pusat dan daerah tetap tutup mata terhadap ancaman nyata eksploitasi sumber daya alam, kehancuran peradaban Riau bukan lagi kemungkinan, melainkan kepastian. Kita bertanggung jawab penuh atas kelangsungan hidup dan masa depan anak-cucu kita. Hari ini kita memilih: menjadi pewaris kehancuran atau penjaga harapan,” kata Romes.
Posting Komentar untuk "Banjir Bandang Sumatera, Walhi Riau: Bukan Bencana Biasa, Ini akibat Deforestasi Masif"
Posting Komentar