Tidak Ada Rawon, Sop Ikan Gurame pun Jadi

TULISAN Rawon dan Garang Asem terbaca dari balik kaca angkot, setiap kali melewati rumah makan di jalan yang menghubungkan Terminal Bubulak dengan CIFOR.

Perhentian terakhir bus itu terletak di Kota Bogor. Sedangkan kantor organisasi penelitian internasional nirlaba tersebut, lebih dikenal sebagai CIFOR (Center for International Forestry Research), berada di Kabupaten Bogor.

Sama-sama bernama "Bogor", tetapi berbeda wilayah administrasi. Kota Bogor dikelilingi oleh Kabupaten Bogor. Dihitung dari pusat Kota Bogor, jarak wilayah Kabupaten Bogor akan bervariasi --tergantung lokasi. Berhimpit hingga berjarak lebih dari 40 kilometer.

Terkadang, dari Kota Bogor menuju tempat-tempat di Kabupaten Bogor harus berjuang menghadapi kemacetan, seperti ke Puncak atau ke Dramaga/Leuwilliang.

Eh, ngelantur. Kembali ke laptop. Panjang ruas Terminal Bubulak-CIFOR kurang dari dua kilometer. Rumah makan berada di KM 1,6 Jalan Raya Cifor.

Nama populernya Omah Rawon & Garang Asem. Tulisan pada spanduk terpampang menarik perhatian saya, saat menuju dan pulang dari berwisata Situ Gede. Atau ketika mengarah ke warung aneka pepes di tepi jalan Situ Gede.

Rawon Jawa Timur adalah salah satu menu kesukaan. Bukan "rawon" versi warteg, yang merupakan masakan berkuah terbuat dari daging tetelan. Beda banget. Rawon Jawa Timuran berbumbu hampir lengkap dengan ciri khas kluwek sebagai penyedap.

Rawon Jawa Timur terhidang dengan tauge pendek, telur asin, tempe goreng, kerupuk udang, sambal bajak. Nasi putih bisa disajikan terpisah atau dicampurkan ke dalam mangkuk kuah rawon.

Tiap-tiap mengetahui keberadaan Rawon, saya akan menghampiri penjualnya. Membeli lalu menyantapnya. Raga dan jiwa menikmati sampai habis masakan berkuah ini dengan rasa syukur.

Hampir semua penyedia olahan rawon di Kota Bogor dan sekitarnya pernah saya kunjungi, antara lain:

Pakde Kan dekat taman Air Mancur,Warung tenda "Nasi Rawon dan Soto" di Jalan Sudirman,  Warung Kelud di Jalan Lawang Gintung,Warung nasi pecel pasar kaget Ciparigi,Rumah makan Mbo'Is di Perumahan Bumi Sentosa, Nanggewer,Rawon Cak Wawan (RCW) Jalan Sukamulya samping RS Vania.

Umumnya, hidangan rawon yang saya santap memenuhi harapan. Terpenuhi kerinduan atas rasa sup daging sapi berkuah hitam nan gurih kaya rempah. Lidah tidak akan bosan mengecap kelezatannya.

Oleh karena itu, spanduk penawaran menu rawon akan menarik perhatian. Apalagi rumah makan tersebut hanya dilewati. Setelah berbelanja di Pasar Merdeka, saya berencana ke Cifor.

Terngiang tulisan di sebuah spanduk, kaki menaiki kabin angkot nomor 15 rute Pasar Merdeka-Situ Gede. Berhenti di Omah Rawon & Garang Asam, Jalan Raya Cifor KM 1,6.

Kios bersahaja dengan pintu besi geser. Foto-foto makanan menempel pada dinding warna cerah. Enam set meja kursi, etalase, dan meja kasir mengisi ruangan. Pada ruang terbuka di belakang bangunan terletak dapur, wastafel, toilet, dan dua set meja kursi.

Si teteh (bhs. Sunda, sebutan untuk gadis) penjaga warung bertanya. Tanpa memandang menu, saya memesan seporsi rawon nasi dicampur.

Gadis manis tersenyum manis, "Rawon habis. Demikian pula Garang Asem."

Ah, saya datang ke warung ini terlalu siang. Lebih dari pukul satu. Rupanya, menu di atas merupakan hidangan favorit pengunjung untuk santapan tengah hari.

Mengamati menu, akhirnya saya menunjuk Sop Ikan Gurame. Sebetulnya "sup" dan "gurami" merupakan kata baku di KBBI, tapi terasa lebih nyaman melafalkan "sop" dan "gurame". Entah kenapa.

Si teteh manis mencatat pesanan Sop Ikan Gurame, nasi setengah, dan segelas teh lemon hangat pada buku di tangan kanan. Tangan kiri menggoreskan tinta pulpen. Ternyata ia terampil mengunakan tangan kiri.

"Kidal, ya? Biasanya orang kidal pinter-pinter."

Si teteh tersenyum manis, lebih manis, dan makin manis. Sedap dipandang berlama-lama. Namun, tugas meneruskan pesanan ke bagian dapur membuatnya bergerak sigap.

Tak lama, teh lemon tersaji. Kurang dari lima belas menit sejak pemesanan, setengah porsi nasi dan semangkuk masakan berkuah terhidang. Saya mengucapkan terima kasih demi memandang senyum manis si teteh.

Takada sambal. Tak jadi soal. Di dalam kuah terdapat dua cabai rawit merah di antara potongan wortel, buncis, tomat, bawang daun, seledri, dan gurame.

Kuah panas mengepul. Sayur yang cukup lunaknya terlihat segar. Mudah dikunyah dengan tetap menyisakan sensasi "kres" ketika digigit. Agaknya, Sop Ikan Gurame dibuat mendadak dengan waktu masak tepat. 

Begitu panas menjadi hangat, seruputan satu sendok kuah mengejutkan lidah. Di luar dugaan saya! 

Semula saya berpikir bahwa sup adalah sup. Biasa saja. Masakan berkuah dengan bawang putih, merica, daun bawang, seledri, dan lainnya. Bumbunya sederhana, meski sup meninggalkan rasa segar yang tidak sederhana juga. 

Bagaimanapun, olahan sup tidak sekaya rasa rawon. Kaldu daging itu dimasak dengan kompleksitas rempah-rempah, menghasilkan rawon dengan citarasa lezatnya sulit dibandingkan.

Sop Ikan Gurame yang saya santap ternyata memiliki kedalaman rasa gurih. Rasa yang lahir dari racikan pas, tingkat kematangan tepat, dan dari saripati ikan gurame itu sendiri. Kuahnya tercecap ringan.

Daging ikan gurame juga lunak mudah lepas. Lembut dan enak dikunyah, meski saya mesti cermat menyingkirkan tulangnya.

Saya tidak mengingkari jika ke dalam olahan telah ditambahkan bubuk penyedap. Namun, penambahan bahan penambah gurih tidaklah berlebihan. Pas dalam penambahan penguat rasa dan garam.

Siapa sangka, ternyata masakan berkuah tersebut cocok di lidah saya. Ringan, memiliki rasa gurih cukup mendalam, segar, daging ikan nan lembut, dan sayur dengan tingkat kematangan tepat.

Serba pas. Pas rawon takada; pas bumbunya; pas matangnya; pas suasananya; pas dengan senyum manis si teteh ...eh.

Pilihan awal Rawon telah habis, tetapi penggantinya --Sop Ikan Gurame-- memberikan pengalaman rasa luar biasa.

Tak rugi memindahkan saldo e-wallet, ke rekening Omah Rawon & Garang Asem melalui QRIS untuk membayar tagihan Rp45.000 (sop= Rp30.000, nasi dan teh lemon= Rp15.000).

Posting Komentar untuk "Tidak Ada Rawon, Sop Ikan Gurame pun Jadi"