NTT Kejar Target Turunkan Stunting: Aksi Lebih Spesifik,Kolaboratif,dan Berbasis Data Lapangan”

NTT Kejar Target Turunkan Stunting: Aksi Lebih Spesifik,Kolaboratif,dan Berbasis Data Lapangan”
Ringkasan Berita:
  • Percepatan penurunan stunting di NTT memasuki fase kerja yang lebih spesifik, terukur, dan kolaboratif lintas sektor.
  • Data stunting: SKI 2024 mencatat angka 37 persen (tertinggi di TTS 47 % , Malaka 45 % , Sumba Barat Daya 42 % , TTU 40 % ), sementara EPPGM mencatat 16,9 % .
  • Pendanaan: Rp 26 miliar (30 % ) untuk intervensi spesifik sektor kesehatan; Rp 104 miliar (70 % ) untuk intervensi sensitif lintas OPD (air bersih, sanitasi, pangan, pendidikan, dll).
 

Laporan reporter POS-KUPANG.COM, Tari Rahmaniar

POS-KUPANG.COM, KUPANG — Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menegaskan bahwa percepatan penurunan stunting kini memasuki fase kerja yang lebih spesifik, terukur, dan kolaboratif lintas sektor. 

Hal ini disampaikan Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak,  Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi NTT, Ruth Diana Laiskodat, S.Si., Apt., MM, terkait pelaksanaan Rapat Koordinasi Tim Percepatan Penanganan Penurunan Stunting  Provinsi NTT tahun 2025.

Dalam RAKOR tersebut, tiga lembaga kunci Dinas Kesehatan, DP3AP2KB, dan Bapperida Provinsi, serta Dinas Kesehatan, DP3A dan Bappeda Kab/Kota se-NTT untuk Kabupaten/ Kota memaparkan progres serta arah kebijakan terbaru untuk menekan angka stunting NTT yang hingga 2024 masih berada pada 37 % menurut Survei Kesehatan Indonesia (SKI).

 

Di sisi lain, EPPGM mencatat angka yang lebih rendah, yakni 16,9 % , namun tetap menjadi perhatian serius pemerintah.

Dari total dana stunting tingkat provinsi, 30 % (Rp 26 miliar) dialokasikan untuk intervensi spesifik oleh sektor kesehatan mulai dari pelayanan ibu hamil, ibu nifas, ibu menyusui, hingga anak usia 0–59 bulan, remaja putri, dan calon pengantin. 

Sementara 70 % atau sekitar Rp 104 miliar menjadi porsi intervensi sensitif yang digerakkan berbagai OPD seperti DP3AP2KB, PUPR, Pertanian, Ketahanan Pangan, Pendidikan, Kelautan dan Perikanan, hingga Bappeda.

“Stunting itu tidak berdiri sendiri. Air bersih, sanitasi, pola makan, lingkungan, pendidikan semua memengaruhi. Karena itu intervensi sensitif jauh lebih luas dan membutuhkan kolaborasi banyak pihak,” ujar Ruth, Rabu (26/11).

Ruth Diana Laiskodat menekankan strategi tahun ini tidak lagi memakai pendekatan seragam. Setiap kabupaten, bahkan setiap kelurahan, harus memiliki target penurunan yang disesuaikan dengan kondisi riil.

“Tidak bisa disamakan. Ada kelurahan dengan anak stunting sekian persen kita harus tahu mau turunkan berapa. Semua berdasarkan data lapangan, bukan asumsi,” ujarnya.

Beberapa inovasi lokal turut menjadi sorotan, seperti praktik di salah satu puskesmas di TTS yang mewajibkan ibu hamil dari daerah jauh untuk menginap beberapa hari sebelum melahirkan di fasilitas kesehatan guna mencegah komplikasi.

Berdasarkan SKI 2024, beberapa kabupaten dengan angka tertinggi antara lain:

1. TTS — 47 % ,

2. Malaka — 45 %

3. Sumba Barat Daya — 42 %

4. TTU — 40 %

Target penurunan 2024 misalnya untuk TTS adalah 44,3 % , sementara angka tahun 2025 baru akan dirilis Desember mendatang.

Perubahan intervensi juga menyoroti perlunya gerakan masyarakat yang berkelanjutan. Intervensi makan dari kesehatan hanya berlangsung 14, 28, atau 56 hari setelah itu harus dilanjutkan dengan dukungan keluarga, tokoh agama, CSR, hingga pelaku usaha.

“Stunting tidak bisa selesai hanya dengan program pemerintah. Harus ada gerakan bersama. Masyarakat, gereja, lembaga sosial, pelaku usaha semua harus terlibat,” ujar Ruth Diana Laiskodat.

Ia juga menyoroti kendala klasik air bersih yang minim, pola makan yang belum tepat, serta rendahnya kepedulian orang tua untuk menimbang anak secara rutin.

Air bersih menjadi masalah paling dominan karena berpengaruh langsung pada higienitas. Makanan bergizi yang diberikan anak sering tidak berdampak maksimal karena mereka kembali sakit akibat sanitasi buruk.

Selain itu, kebiasaan memberikan jajanan sebelum makan juga menjadi pemicu buruknya asupan gizi.

“Yang benar itu makan dulu, baru jajan. Harus lima kali makan sehari. Ini berlaku untuk semua, bukan hanya di desa di kota pun banyak yang salah pola,” ungkapnya.

Ruth Diana Laiskodat kembali menekankan pentingnya 1000 HPK sebagai fondasi kesehatan generasi masa depan. Anak stunting berisiko mengalami gangguan perkembangan otak, sulit belajar, hingga lebih rentan penyakit tidak menular seperti diabetes sejak usia muda.

“Kalau sudah stunting, penanganannya membutuhkan dokter spesialis anak. Jadi pencegahan jauh lebih murah dan jauh lebih efektif,” ujarnya.

“Orang tua harus aktif menimbang. Guru harus pastikan remaja putri minum tablet tambah darah. Tokoh agama dan masyarakat perlu ikut menggerakkan. 

Pemerintah menyediakan layanan, tapi hasilnya maksimal jika semua bekerja bersama,” ungkapnya.

Pemerintah menargetkan pada tahun 2045, angka stunting NTT harus turun di bawah 10 % setara 1 dari 10 anak. 

Untuk menuju ke sana, maka perlu strategi terukur, intervensi lintas sektor, dan keterlibatan masyarakat menjadi kunci keberhasilan. (Iar)

Berita menggapaiasa.comLainnya di Google News

Posting Komentar untuk "NTT Kejar Target Turunkan Stunting: Aksi Lebih Spesifik,Kolaboratif,dan Berbasis Data Lapangan”"