Merawat Sungai demi Kesejahteraan

Oleh: Rohmanur Aziz & Yusril Perdiansyah
Dosen UIN SGD Bandung
Musim hujan kembali tiba, dan masyarakat Jawa Barat kembali diingatkan pada peristiwa banjir yang melanda berbagai wilayah akibat meluapnya sungai yang dangkal, penuh sampah, dan dipenuhi bangunan liar di daerah aliran sungai (DAS). Beberapa waktu lalu, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi viral setelah mengunggah video aksi penanganan banjir di Bogor, Depok, dan Bekasi—wilayah yang selama bertahun-tahun dianggap buruk dalam tata kelola sungai dan menimbulkan kerugian bagi masyarakat di hilir.
Meski tata kelola sejumlah DAS kini relatif membaik, kondisi serupa belum merata. DAS besar seperti Citarum, Cikijing, Cikeruh, Citarik di Kabupaten Bandung, Cikapundung di Kota Bandung, Cimanuk di Garut, Cimandiri, Cikaso, Cipalabuhan, Cibojong, Cileh di Sukabumi, Ciputih, Singaraja, dan Ciberes di Cirebon masih membutuhkan perhatian serius melalui perawatan yang konsisten.
Sungai Citarum, sebagai salah satu aset ekologis terbesar Jawa Barat, mengalir melewati tiga zona: hulu (Bandung Raya), tengah (Purwakarta, Sumedang, Cianjur), hingga hilir (Karawang–Bekasi). Dengan 16 sub-DAS dan total luas 682.227 hektare, Citarum menjadi kunci kualitas air dan konservasi wilayah. Namun, sejarah mencatat, pada 2017 Citarum pernah menyita perhatian dunia setelah seorang turis asal Prancis mengunggah video yang menunjukkan betapa parahnya pencemaran sungai. Gary menyebut Citarum sebagai “most polluted river in the world”, membuat pemerintah dan publik tersentak.
Bagi masyarakat Indonesia, sungai bukan sekadar aliran air. Sungai adalah urat nadi kehidupan, sumber irigasi pertanian, sarana transportasi di sejumlah daerah, dan penghubung antarwilayah. Ia menyatukan kepentingan ekonomi, politik, budaya, dan ekologis. Maka keberadaan sungai harus diperlakukan sebagai instrumen vital yang setara pentingnya dengan infrastruktur publik lain.
Negara seperti Jepang memberikan pembelajaran berharga. Pada awal 1970-an, sungai-sungai di Jepang mengalami kondisi serupa: tercemar industri, penuh limbah, dan berbahaya bagi kehidupan. Sungai Sumida di Tokyo bahkan dijuluki “sungai kematian”. Pada tingkat pencemaran tertinggi, nilai BOD Sumida mencapai 63 mg/l—angka yang sangat berbahaya. Pemerintah Jepang bereaksi cepat dengan membentuk regulasi khusus yang dikenal sebagai The River Law (1896), lalu diamendemen pada 1964 dan 1997 sebagai dasar tata kelola sungai modern.
Keberhasilan Jepang bukan semata hasil kebijakan, tetapi lahir dari kemauan kolektif masyarakat dan pemerintah untuk memandang sungai sebagai tanggung jawab moral bersama. Kesadaran itu tumbuh karena masyarakat merasakan ketergantungan besar terhadap sungai: untuk toilet (28%), mandi (24%), memasak (23%), mencuci (17%), dan terutama irigasi pertanian (90%). Ketergantungan ini membentuk komitmen kuat untuk merawat sungai sebagai fondasi kesejahteraan. Pengalaman ini relevan bagi Indonesia, terutama Jawa Barat, yang menghadapi tantangan serupa.
Tata kelola DAS di Indonesia membutuhkan pendekatan kolaboratif. Pengelola DAS seperti Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) dan berbagai pemangku kepentingan perlu menerapkan pendekatan pentahelix: akademisi, dunia usaha, komunitas, pemerintah, dan media. Akademisi bisa memberikan riset, kajian kebijakan, serta program pemberdayaan masyarakat seperti KKN Sisdamas. Pelaku usaha sebagai pengguna air sungai dapat terlibat dalam pengembangan ekosistem sungai yang berkelanjutan, mulai dari pertanian, peternakan, transportasi air, hingga pariwisata.
Komunitas lokal harus diperlakukan sebagai subjek pembangunan, misalnya dengan mengubah pola permukiman agar rumah menghadap sungai dan mendorong pengelolaan limbah domestik melalui IPAL. Pemerintah memainkan peran kunci sebagai support system melalui kebijakan dan pembiayaan yang progresif. Media berperan penting dalam melakukan sosialisasi dan membangun perubahan perilaku publik.
Pentahelix harus dijalankan melalui lima pilar pemberdayaan masyarakat: demokratis, partisipatif, berbagi peran, berkelanjutan, dan berbasis komunikasi. Tanpa pilar-pilar ini, program pelestarian seperti Citarum Harum atau Citarum Bestari berisiko berhenti pada level proyek, bukan perubahan sistemik.
Peluang
Jawa Barat membutuhkan tata kelola sungai yang melihat sungai bukan sebagai masalah, melainkan peluang. Sungai yang bersih dan terawat akan meningkatkan kualitas hidup, memperkuat pertanian, mendorong munculnya pariwisata air, membuka lapangan kerja, dan menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat di sepanjang alirannya. Sungai adalah indikator peradaban: ketika sungai dirawat, masyarakat pun sejahtera.
Pada akhirnya, keberhasilan pengelolaan sungai sangat bergantung pada perubahan budaya dan perilaku masyarakat. Sungai yang bersih bukan hanya hasil dari pengerukan atau penegakan hukum, tetapi lahir dari kesadaran kolektif bahwa sungai adalah ruang hidup bersama. Pemerintah bisa membuat program sebesar apa pun, tetapi tanpa keterlibatan warga dalam menjaga lingkungan di sekitar rumah, kondisi sungai tidak akan berubah signifikan.
Momentum perbaikan kualitas sungai harus dijadikan gerakan jangka panjang, bukan respons musiman saat banjir datang.***
Posting Komentar untuk "Merawat Sungai demi Kesejahteraan"
Posting Komentar