Magang Bergaji UMR: Solusi atau Sekadar Ilusi Pemberdayaan Lulusan Baru?

Pemerintah baru-baru ini meluncurkan program magang nasional untuk fresh graduate, yang menjanjikan kompensasi setara Upah Minimum Regional (UMR) bagi para peserta selama masa pelatihan kerja. Program ini disebut-sebut sebagai langkah strategis untuk menekan angka pengangguran muda yang terus meningkat, terutama di kalangan lulusan perguruan tinggi.
Sekilas, gagasan ini terdengar progresif dan berpihak kepada generasi muda. Namun, di balik euforia itu, muncul sejumlah pertanyaan mendasar: Apakah program ini benar-benar menciptakan solusi berkelanjutan, atau sekadar respons jangka pendek terhadap krisis lapangan kerja di masa transisi pemerintahan?
Euforia yang Perlu Dikaji Ulang
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS, 2025), tingkat pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 4,82%, dengan proporsi pengangguran lulusan universitas sebesar 5,79%, lebih tinggi dibandingkan lulusan SMA yang berada di kisaran 5,29%. Artinya, semakin tinggi pendidikan, semakin besar pula tantangan untuk memperoleh pekerjaan tetap.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker, 2025) melaporkan bahwa rata-rata waktu tunggu kerja bagi fresh graduate berada di rentang 6—12 bulan setelah lulus. Dalam konteks ini, program magang bergaji UMR tampak sebagai “jembatan sementara” yang berusaha mengurangi tekanan angka pengangguran intelektual.

Namun, keberhasilan program tidak cukup diukur dari penyerapan peserta semata, tetapi juga dari mutu pelatihan, dampak jangka panjang, dan keberlanjutan karier peserta.
Magang Bukan Sekadar Upah
Program magang seharusnya bukan hanya menjadi sarana distribusi upah, melainkan juga media pembelajaran industri yang terstruktur. ILO (2024) menegaskan bahwa magang idealnya memiliki tiga unsur utama: pelatihan terarah, mentorship profesional, dan sertifikasi kompetensi nasional.
Sayangnya, desain magang nasional di Indonesia masih lebih menonjolkan aspek insentif dibanding peningkatan kompetensi. Banyak perusahaan penerima peserta magang tidak memiliki sistem pembelajaran kerja yang jelas, sehingga pengalaman magang justru menjadi rutinitas administratif, tanpa nilai tambah keterampilan.
Di sisi lain, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI, 2023) mencatat bahwa 60% lulusan yang mengikuti magang di perusahaan besar tidak otomatis diserap menjadi karyawan tetap. Angka ini menunjukkan kesenjangan antara pelatihan dan peluang kerja nyata.
Soal Keberlanjutan dan Pemerataan

Kritik utama terhadap program magang bergaji UMR bukan pada niatnya, melainkan pada keberlanjutan dan efektivitasnya. Pertama, program ini cenderung berorientasi jangka pendek. Jika kontrak magang hanya berlangsung 6 bulan tanpa mekanisme placement atau sertifikasi, manfaatnya akan berhenti di sisi administratif: pengangguran turun sementara, tetapi tidak diikuti peningkatan kompetensi kerja (Airlangga, 2025).
Kedua, terjadi potensi ketimpangan wilayah. Karena nilai UMR berbeda tiap daerah, peserta magang di kota besar seperti Surabaya atau Jakarta akan menerima upah yang jauh lebih tinggi dibanding di kota kecil. Hal ini menimbulkan kesenjangan akses antara daerah industri dan non-industri (UI, 2024).
Ketiga, perlu ada transparansi dalam seleksi mitra industri. Jangan sampai program ini hanya menguntungkan perusahaan besar atau BUMN, sementara UKM dan sektor inovatif diabaikan.
Menuju Solusi yang Lebih Relevan

Program magang bergaji UMR akan jauh lebih bermakna bila dilengkapi dengan tiga komponen perbaikan utama. Pertama, integrasi sertifikasi kompetensi (BNSP). Setiap peserta yang lulus magang harus memperoleh sertifikat kompetensi nasional agar keterampilannya diakui lintas industri (BNSP, 2024).
Kedua, kemitraan dengan perguruan tinggi dan Dinas Ketenagakerjaan Daerah. Universitas dapat membantu dalam monitoring pascamagang selama 1 tahun, memastikan apakah peserta benar-benar berkembang di dunia kerja (Unair, 2025).
Ketiga, transparansi dan digitalisasi data peserta. Dengan dashboard publik yang memuat informasi perusahaan mitra, durasi magang, dan tingkat serapan kerja, publik dapat ikut mengawasi akuntabilitas program.
Antara Harapan dan Tantangan
Magang bergaji UMR tentu kabar baik di tengah sulitnya mencari pekerjaan tetap. Namun, tanpa sistem pembelajaran industri yang kuat dan arah karier yang jelas, program ini berisiko menjadi proyek populis sesaat yang sekadar memperindah angka statistik tanpa memperkuat kualitas SDM muda Indonesia.
Seperti ditegaskan oleh ILO (2024), pembangunan tenaga kerja muda harus berorientasi pada employability jangka panjang, bukan sekadar temporary engagement. Karena sejatinya, pemberdayaan bukan hanya tentang memberi upah, melainkan pembangunan daya tahan, kompetensi, dan kemandirian.
Posting Komentar untuk "Magang Bergaji UMR: Solusi atau Sekadar Ilusi Pemberdayaan Lulusan Baru?"
Posting Komentar