Ketika Curhat Berakhir Jadi Puisi

PENDIRI komunitas Puisi on The Spot Hamzah Muhammad mencoba menghidupkan kembali puisi di kalangan masyarakat. Yang berbeda, ia ingin agar puisi itu lebih relevan dengan orang yang bersangkutan. "Supaya semua orang bisa merasa dirinya punya puisi di dalam hidupnya," katanya dalam acara Par Les Mots “Lewat Kata-Kata” di IFI Thamrin Jakarta pada 13 November 2025.
Hamzah dan tim memiliki konsep yang unik dalam mendekatkan kata-kata pujangga kepada masyarakat. Ia dan timnya menawarkan layanan penulisan puisi menggunakan mesin tik di hadapan kliennya langsung. Hamzah akan meminta kliennya untuk bercerita tentang apapun yang ingin diceritakan klien, entah itu soal cinta, masalah kehidupan, atau bahkan imajinasinya.
Hamzah hanya akan mendengarkan si klien kemudian mengubah kisahnya itu menjadi puisi langsung di hadapan si klien. Ia pun berjanji hanya akan mendengarkan tanpa menghakimi berbagai kisah yang disampaikan. “We listen, we don't judge, but we write poetry for you (Kita dengarkan, dan tidak akan menghakimi, tapi akan kami buatkan puisi)," kata Hamzah.
Tempo sempat mencoba pengalaman ini. Tempo menceritakan salah satu kesedihan atas meninggalnya orang terkasih. Tempo diminta untuk bercerita selama sekitar 2 menit saja. Tanpa jeda, Hamzah benar-benar mendengarkan kisah yang disampaikan. Ketika Tempo sudah selesai, hanya dalam waktu kira-kira 3 menit, Hamzah sudah berhasil membuat sebuah puisi tanpa judul.
Puisi itu terdiri dari 12 baris dengan diakhiri tertanda hm, dan dicap biru. Isinya benar-benar mengisahkan duka sesuai cerita yang disampaikan Tempo. Menurut Tempo, puisi itu sangat berkesan dan menyentuh hati.
Menurut Hamzah, ide komunitas Puisi on The Spot bermula pada masa pandemi Covid-19. Saat itu, Hamzah dan rekan-rekannya mendirikan kedai kolektif seni bernama Atelir Cermai. Selama tujuh bulan beroperasi, mereka rutin membuat aktivasi berupa pembuatan kalimat motivasi bertajuk "Doa Malam Ini".
Setelah pandemi mereda, semangat motivasi tersebut bertransformasi menjadi kegiatan membuat puisi. Peserta pun hanya diminta membayar seikhlasnya untuk mendapatkan puisi tersebut. “Setiap orang memiliki cerita yang layak untuk dibagi dan kita dengarkan lewat puisi,” kata Hamzah.
Para penulis di komunitas ini memiliki beragam latar belakang. Mereka berasal dari pendidikan sastra hingga sekadar memiliki minat puisi. para peserta komunitas ini pun masih menganggap kegiatan ini sebagai pekerjaan sampingan.
Mesin tik yang Hamzah bawa pun menambah nuansa autentik. “Kami tidak ingin mengandalkan sesuatu yang memakai filter jadi hasilnya autentik,” katanya.
Mengedepankan Empati dan Kemanusiaan dalam Penulisan
Salah satu yang diutamakam Hamzah dalam menulis puisi ini adalah empati. Ia ingin agar kisah dalam puisi tersebut tersampaikan dan sesuai dengan perasaan kliennya saat itu. Sebagai penulis puisi, ia berupaya untuk tidak mengandalkan egonya, melainkan berempati dengan pengalaman tamunya. "Kami tidak khawatir apakah hasil tulisan tersebut termasuk karya sastra atau bukan," kata Hamzah.
Menurut Hamzah, fokus pada kriteria sastra hanya akan mengalihkan perhatian pada kualitas puisi saja. Padahal, beberapa orang yang bercerita mungkin hanya ingin hatinya ditenangkan. Ia berharap peran karya puisi tersebut bisa melampaui sebatas karya sastra. "Tetapi lebih kepada bagaimana puisi dapat memberikan dampak pada kemanusiaan itu sendiri," katanya.
MELIKA AYAZA
Posting Komentar untuk "Ketika Curhat Berakhir Jadi Puisi"
Posting Komentar