Dubes Sudan Soroti Peran UEA dan Sekutunya dalam Perang Sumber Daya

DUTA Besar Sudan untuk Indonesia Yassir Mohamed Ali menyebut konflik berkepanjangan di negaranya tak lepas dari kepentingan ekonomi negara-negara besar di kawasan Timur Tengah dan Barat.

Dalam wawancara dengan Tempo di kediamannya di Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa, 4 November 2025, ia menuding Uni Emirat Arab (UEA) bersama Israel, Amerika Serikat, dan Inggris memainkan peran besar di balik perang yang menelan ribuan korban sipil itu.

Ia juga menyebut konflik yang melanda negaranya bukan sekadar perang internal atau perang saudara, melainkan “perang sumber daya” yang melibatkan kekuatan asing. “Apa yang terjadi di Sudan adalah perang sumber daya,” ujarnya.

Yassir merinci, cara-cara lama kolonial kini digunakan kembali untuk menundukkan negara-negara di Afrika. “Lalu apa yang mereka inginkan? Mereka ingin menundukkan yang lain dan menguasai lebih banyak tanah. Ini keserakahan,” kata dia.

Ambisi Menguasai Jalur Emas dan Pelabuhan

Menurut Yassir, UEA di bawah kepemimpinan Mohammed bin Zayed (MBZ) tengah mendorong agenda ekspansi ekonomi yang disebutnya menyerupai kolonialisme baru.

“Ketika Mohammed bin Zayed berkuasa, dia punya agenda yang menurut saya tidak rasional. Mereka ingin memperluas pengaruh seolah-olah sebagai kekuatan kolonial. Mereka ingin menguasai pelabuhan di sebagian besar wilayah Afrika untuk mendukung Jabal Ali, pelabuhan utama mereka,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa seluruh emas dari Sudan dikirim ke UEA. Negara Teluk itu, kata Yassir, ingin menjadikan Jabal Ali sebagai pusat perdagangan regional.

“UEA punya ambisi menjadi pusat ekonomi di kawasan,” ucapnya.

Semua jalur perdagangan, menurut Yassir, alih-alih menuju Afrika, harus melewati Jabal Ali.

“Dari sana barang-barang didistribusikan ke berbagai pelabuhan. Itulah sebabnya mereka membangun Dubai Port dan ingin mengelola banyak pelabuhan di Afrika Timur dan Laut Merah,” katanya.

Sekutu UEA di Kawasan

Ia menambahkan bahwa kebijakan itu bukan murni agenda UEA, melainkan bagian dari strategi yang lebih luas.

“UEA hanya bagian dari agenda itu. Agenda ini milik Israel, Inggris, dan Amerika Serikat. UEA adalah sekutu utama Israel di kawasan,” ucapnya.

Ia mencontohkan hubungan erat kedua negara ketika Iran menyerang Israel.

“Saat itu pesawat UEA mendarat di Israel dengan mengibarkan bendera kedua negara. Mereka menyebutnya sebagai kelanjutan dari Abraham Accords,” kata dia.

Ia juga menuding komandan militer Libya, Khalifa Haftar, membantu menyalurkan senjata dari UEA kepada pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) yang terlibat dalam perang di Sudan.

“Haftar mendukung RSF. Semua senjata dikirim melalui Haftar atau kadang langsung dengan penerbangan menuju Chad,” ujar Yassir.

Menurutnya, kekayaan besar UEA digunakan untuk memperpanjang perang karena gagal mengendalikan Sudan. “Sekarang mereka ingin melemahkan Sudan dan memaksa pemerintah tunduk pada kehendak mereka,” ucapnya.

Seruan Boikot UEA

Laporan The New Arab mencatat seruan boikot terhadap UEA meningkat setelah RSF yang diduga didukung Emirat merebut kota El Fasher di Sudan utara.

Lebih dari 2.000 warga sipil dilaporkan tewas hanya dalam beberapa jam pertama.

Di media sosial, tagar #boycottUAE ramai disertai unggahan bertuliskan “Habibi, boycott Dubai” yang turut dibagikan aktivis Swedia, Greta Thunberg.

Sementara itu, unggahan akun resmi Emirates Airlines pada 29 Oktober di X menuai ribuan komentar yang menyoroti peran UEA di Sudan.

“Beginilah cara UEA berbisnis,” tulis podkaster Inggris Muhammad Jalal sambil menampilkan foto seorang ibu dan anak di Sudan di bawah todongan senjata.

Posting Komentar untuk "Dubes Sudan Soroti Peran UEA dan Sekutunya dalam Perang Sumber Daya"