DEN Klarifikasi Revisi Perpres 112/2022: Tidak Ada Pelonggaran Pembangunan PLTU Baru

menggapaiasa.com, JAKARTA — Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Dadan Kusdiana buka suara soal revisi aturan yang disebut melonggarkan syarat pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara baru.

Adapun revisi aturan yang dimaksud adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.

Dadan membantah bahwa revisi Perpres Nomor 112 Tahun 2022 merupakan upaya pelonggaran syarat pembangunan PLTU baru. Menurutnya, pembangunan PLTU baru hanya berlaku bagi proyek yang telah memenuhi ketentuan.

"Menurut saya, tidak ada rencana pelonggaran untuk PLTU baru. Dalam Perpres sekarang pun sudah diatur bahwa pembangunan PLTU baru dapat dilakukan dengan beberapa kriteria di antaranya untuk mendukung industri yang memberikan dampak signifikan dalam perekonomian nasional," tutur Dadan kepada Bisnis, Senin (17/11/2025).

Di sisi lain, Dadan membenarkan bahwa usulan lain dalam revisi juga mencakup aturan pembangkit listrik tenaga hibrida (PLT hibrida) yang memungkinkan kombinasi energi fosil dengan energi terbarukan.

Menurutnya, PLT hibrida menjadi keniscayaan, terutama untuk menunjang kelistrikan di wilayah terpencil.

"PLT hibrida juga penting untuk di wilayah-wilayah terutama yang remote untuk mendorong pemanfaatan EBT dengan tetap menjaga keandalan sistem dan keekonomian," jelas Dadan.

Upaya merevisi Perpres Nomor 112/2022 menjadi sorotan. Pasalnya, draf perubahan beleid yang beredar dalam konsultasi publik dinilai membuka peluang tambahan pembangunan PLTU batu bara baru.

Selain itu, pemerintah berencana memasukkan aturan terkait PLT hibrida. Pemerintah menyebut perubahan ini diperlukan untuk menjaga keandalan sistem dan memenuhi kebutuhan listrik nasional.

Chief Executive Officer (CEO) IESR Fabby Tumiwa menilai dua usulan perubahan tersebut berpotensi meningkatkan harga tenaga listrik, melemahkan daya saing, menambah risiko aset fosil yang mangkrak (stranded), serta mengancam transisi energi.

Menurutnya, revisi Perpres ini seharusnya memperkuat ketentuan pengakhiran operasi PLTU pada 2050 serta melarang pembangunan PLTU batu bara baru, termasuk yang terintegrasi dengan industri, mulai 2025.

Indonesia, kata Fabby, telah menyepakati Just Energy Transition Partnership (JETP) yang menargetkan 34% bauran energi terbarukan pada 2030 oleh pemerintah sebelumnya. Selain itu, dalam berbagai kesempatan, Presiden Prabowo juga kerap menyampaikan komitmennya untuk mengakhiri pembangunan PLTU batu bara dalam 10–15 tahun ke depan.

"Adanya rencana kebijakan yang permisif terhadap pembangunan PLTU akan menurunkan kredibilitas Indonesia dan memberikan sinyal negatif investasi karena tidak konsisten dengan aspirasi transisi energinya,” jelas Fabby melalui keterangan resmi, dikutip Senin (17/11/2025).

IESR menegaskan bahwa keandalan sistem dapat dipertahankan tanpa menambah PLTU batu bara. Ekspansi jaringan dan transmisi serta pengembangan panas bumi, hidro, dan energi terbarukan variabel seperti energi surya dan angin yang dipadukan dengan sistem penyimpanan energi (energy storage) dinilai dapat menggantikan peran PLTU dalam menjaga keandalan.

Selain itu, berbagai bukti menunjukkan bahwa keberadaan PLTU batu bara tidak selalu menjamin keandalan sistem. Salah satunya, kata Fabby, terlihat dari pemadaman listrik di Pulau Timor pada November 2025 yang disebabkan gangguan pada unit PLTU Timor, meskipun PLTU 2 x 50 MW tersebut baru beroperasi pada 2023.

Lebih lanjut, Fabby mengatakan bahwa skema mencampurkan energi terbarukan dengan energi fosil dalam PLT hibrida berisiko memperpanjang penggunaan energi fosil dan meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK).

IESR pun mendesak agar PLT hibrida hanya digunakan untuk menggabungkan sesama energi terbarukan.

Posting Komentar untuk "DEN Klarifikasi Revisi Perpres 112/2022: Tidak Ada Pelonggaran Pembangunan PLTU Baru"