Bertahan di Putaran Miring: Perajin Gerabah Desa Melikan Bayat Klaten Hadapi Cuaca Tak Menentu

KILAS KLATEN - Di tengah deru roda putar yang sedikit miring, terdengar bisik tanah liat yang dibentuk dengan tangan itulah suasana di Desa Melikan, Kecamatan Wedi (berbatasan dengan Kecamatan Bayat), Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Di sini, kerajinan gerabah bukan hanya sekadar usaha rumah tangga, melainkan warisan budaya yang diwariskan turun‑temurun.
Namun, belakangan para perajin menghadapi tantangan besar: cuaca yang tak menentu.
Sebuah Warisan yang Terus Menggeliat
Sentra kerajinan gerabah Bayat sudah hadir sejak lama di wilayah Klaten.
Meskipun secara administratif berada di Desa Melikan, Kecamatan Wedi, banyak yang mengenalnya sebagai kerajinan “gerabah Bayat”.
Tradisi ini tak lepas dari kisah masyarakat lokal yang menuturkan bahwa kerajinan tanah liat telah dimulai sejak zaman dahulu, bahkan dikaitkan dengan tokoh Sunan Pandanaran (atau Sunan Tembayat) yang menyebarkan agama dan turut mendorong perkembangan kerajinan di wilayah Bayat.
Ciri khas yang menonjol dari gerabah Bayat adalah teknik “putaran miring” – roda putar yang tidak horizontal melainkan miring beberapa derajat.
Teknik ini unik dan berbeda dibanding kerajinan serupa di tempat lain.
Alasan teknik ini dikarenakan dulu banyak perajin perempuan yang memakai kain jarik dan kebaya, sehingga posisi miring membantu menjaga norma kesopanan sekaligus mempermudah kerja.
Bahan baku berupa tanah liat khusus dari daerah tersebut, yang ketika dibakar memiliki warna khas dan kekuatan yang cukup baik, juga menjadi penopang keunikan gerabah Bayat.
Tantangan Cuaca Tak Menentu Menguji Ketahanan
Meskipun fondasi budaya dan teknik sudah kuat, para perajin di Pagerjurang, Bayat/Klaten kini merasakan dampak nyata dari cuaca yang tidak menentu.
Menurut laporan, produksi harian yang sebelumnya mencapai sekitar 100 biji per hari kini turun menjadi sekitar 60 biji per hari karena hujan kerap datang tak terduga atau lembab yang mengganggu proses pengeringan dan pembakaran.
Penurunan produksi ini berarti bukan hanya jumlah barang yang lebih sedikit, tetapi juga potensi pendapatan yang mengecil—dan bagi banyak keluarga perajin, kerajinan gerabah merupakan sumber utama.
Cuaca yang buruk mempengaruhi beberapa tahapan penting: pengeringan tanah liat yang lambat, pembakaran yang tidak stabil, dan kualitas akhir produk yang bisa menurun.
Hal ini membuat para perajin harus ekstra hati‑hati dan sering menunda pekerjaan.
Adaptasi, Peluang, dan Ancaman
Menanggapi tantangan tersebut, sejumlah perajin dan komunitas mulai melakukan adaptasi:
1. Mempercepat proses pengeringan dengan area terbuka yang lebih terlindung hujan.
2. Mengatur jadwal produksi agar menyesuaikan musim atau cuaca.
3. Mencoba pemasaran online untuk menjangkau pasar yang lebih luas dan mengurangi ketergantungan terhadap pasar lokal yang bisa fluktuatif.
Namun demikian ancaman tetap ada misalnya generasi muda yang enggan turun ke kerajinan, memilih merantau atau kerja di kota besar.
Sebuah artikel menyebut bahwa meski gerabah Bayat sudah mendunia, “90 % warga pun berprofesi sebagai pembuat gerabah namun sayang, saat ini sudah semakin berkurang karena generasi muda memilih profesi lain.”
Dengan demikian, menjaga keberlangsungan usaha gerabah Bayat bukan hanya soal teknik produksi, tapi juga regenerasi tenaga kerja, inovasi produk, dan akses pasar.
Mengapa Ini Penting untuk Klaten dan Budaya Lokal?
Kerajinan gerabah Bayat bukan hanya aktivitas ekonomi lokal, tetapi bagian dari warisan budaya yang mempunyai nilai estetika dan sosial.
Penelitian kualitatif menunjukkan bagaimana keseharian perajin di Pagerjurang (Kecamatan Bayat) melibatkan pergumulan estetika, etika kerja, relasi sosial dan perubahan zaman.
Dengan terus bertahan, masyarakat tidak hanya menjaga identitas lokal, tetapi juga berkontribusi pada pariwisata (desa wisata gerabah), ekonomi kreatif, dan pelestarian keahlian manual yang semakin langka.
Harapan di Tengah Tantangan
Di sela‑sela debu tanah liat dan putaran roda kayu yang berderit halus, terlihat semangat para perajin gerabah Bayat untuk terus bertahan.
Ya, cuaca mungkin tak menentu, tantangan zaman mungkin makin berat, namun warisan yang mereka pegang ternyata lebih besar: sebuah ruang di mana tangan bertemu tanah, budaya bertemu pasar, dan masa lalu bertemu harapan masa depan.
Semoga dengan perhatian yang tepat mulai dari pembinaan, pemasaran hingga regenerasi kerajinan gerabah Bayat akan tetap berputar, tetap hidup, dan tetap menjadi kebanggaan Klaten.***
Posting Komentar untuk "Bertahan di Putaran Miring: Perajin Gerabah Desa Melikan Bayat Klaten Hadapi Cuaca Tak Menentu"
Posting Komentar