Aceh dalam Bencana,Butuh Revitalisasi Ekologis

Muhammad Yuzan Wardhana, Mahasiswa Doktoral Ilmu Pertanian USK
ACEH dikenal sebagai Serambi Mekkah, tanah yang kaya budaya, sejarah, dan kandungan serta keindahan alam. Namun dalam dua dekade terakhir, provinsi ini juga dikenal sebagai wilayah yang rentan bencana. Banjir bandang, longsor, kebakaran hutan, hingga krisis air bersih menjadi ancaman yang berulang setiap tahun. Bencana bukanlah sesuatu yang lahir dari ruang hampa. Ia merupakan buah dari akumulasi kebijakan, perilaku manusia, dan perubahan ekologi yang tidak terkelola.
Aceh hari ini sedang berada dalam persimpangan: antara mempertahankan warisan ekologisnya atau terus terperosok dalam siklus bencana yang semakin kompleks. Tulisan ini mencoba mengulas secara kritis akar persoalan mulai dari kebijakan tambang, penebangan hutan ilegal, hingga alih fungsi hutan serta menawarkan langkah revitalisasi yang realistis namun tegas.
Setiap tahun, bencana hidrometeorologi di Aceh meningkat. Data BPBA menunjukkan tren banjir dan longsor yang makin sering, terutama di wilayah Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Tenggara, Aceh Selatan, serta sejumlah kabupaten di pesisir timur dan barat. Namun, pertanyaan pentingnya adalah apakah ini murni bencana alam? Jawabannya tidak.
Sebagian besar bencana ini merupakan konsekuensi dari kerusakan ekologis yang terjadi secara sistematis. Hutan-hutan lindung yang selama ini menjadi penyangga hidrologis telah mengalami degradasi signifikan. Alih fungsi lahan untuk perkebunan, aktivitas tambang, hingga penebangan liar telah melemahkan daya tahan ekologis Aceh. Masalahnya bukan hanya skala kerusakan, tetapi juga kedalaman akar kebijakan dan lemahnya penegakan aturan.
Tambang sering dijual sebagai solusi ekonomi jangka pendek: menciptakan lapangan kerja dan pendapatan daerah. Namun di Aceh, pertumbuhan izin tambang justru memperlihatkan wajah lain. Konflik sosial, sedimentasi sungai, pencemaran air, dan hilangnya mata pencaharian masyarakat adat. Banyak wilayah tambang berada pada daerah hulu DAS (Daerah Aliran Sungai).
Ketika hutan dibuka untuk tambang, tanah menjadi gundul dan mudah tergerus, mengakibatkan banjir besar saat musim hujan. Sedimentasi mengisi sungai-sungai Aceh, membuat kapasitas tampung air menurun drastis. Tambang ilegal memperparah situasi. Mereka bergerak tanpa standar lingkungan, tanpa AMDAL yang benar, dan tanpa pemulihan pascaoperasi. Pada titik ini, kerusakan yang terjadi bukan hanya ekologis, tetapi juga moral dan institusional.
Kejahatan ekologis
Penebangan hutan ilegal (illegal logging) telah berlangsung di Aceh sejak lama. Motifnya beragam: ekonomi masyarakat, korporasi, hingga mafia kayu yang memiliki jaringan kuat. Namun terlepas dari siapa pelakunya, dampaknya selalu sama. Hilangnya tutupan hutan yang berfungsi sebagai benteng alami. Hutan Aceh adalah rumah bagi berbagai satwa kunci seperti gajah, harimau, orangutan, dan badak Sumatera.
Ketika hutan menyusut, bukan hanya bencana ekologis yang meningkat, tetapi juga konflik satwa-manusia. Gajah turun ke kebun warga bukan karena mereka ingin mengganggu manusia, tetapi karena rumahnya digusur. Ironisnya, penegakan hukum sering tidak memberikan efek jera. Pelaku lapangan ditangkap, tetapi jaringan besar tetap bergerak. Masyarakat kecil sering dijadikan tumbal, padahal mafia kayu yang sesungguhnya berada di balik layer, bahkan heboh beberapa waktu lalu tertangkap gambar oknum eks tahanan kasus pembalakan liar sedang bermain domino dengan Menteri Kehutanan RI, sungguh sinyal kenyataan yang pilu.
Alih fungsi hutan untuk perkebunan sawit dan tanaman produktif lain adalah masalah klasik di Aceh. Dalam banyak kasus, alih fungsi ini dilakukan secara tidak transparan dan tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan. Sehingga ketika kawasan hutan berubah menjadi perkebunan monokultur, terjadi beberapa dampak besar.
Pertama, hilangnya keanekaragaman hayati dan lanskap menjadi homogen. Kedua, turunnya kapasitas tanah menyerap air karena pohon kayu keras diganti tanaman industri dangkal akar. Ketiga, meningkatnya suhu mikro wilayah. Dan Keempat, terbentuknya kantong-kantong kerentanan sosial dan ekologis. Menjadi catatan penting, tanpa kendali tata ruang yang ketat, Aceh akan terus terjebak dalam spiral degradasi. Pernahkah kita bertanya pada diri, mengapa kerusakan ini terus berulang?
Terindikasi beberapa faktor penyebab utama adalah lemahnya penegakan hukum, banyak aturan ada di atas kertas, tetapi implementasinya longgar, konflik kepentingan ekonomi dan politik. Sektor ekstraktif sering mendapat perlindungan politis, kurangnya integrasi kebijakan lintas sektor, (kehutanan, energi, pertanian, dan penataan ruang berjalan sendiri-sendiri), keterbatasan pemberdayaan masyarakat adat dan lokal. Padahal mereka adalah penjaga paling efektif bagi hutan, dan faktor terakhir adalah minimnya data dan monitoring berbasis teknologi. Dampaknya akurasi membaca keadaan tanpa data real time, hingga pengawasan menjadi lambat.
Langkah revitalisasi
Aceh membutuhkan langkah-langkah cepat namun strategis. Revitalisasi ekologis bukan pekerjaan satu tahun, tetapi diperlukan komitmen jangka panjang. Maka Langkah pertama yang harus dilakukan adalah moratorium tambang dan audit menyeluruh. Dalam hal ini pemerintah Aceh perlu melakukan moratorium izin baru di kawasan rawan bencana, audit independen seluruh izin tambang, pencabutan izin yang tidak memenuhi kewajiban reklamasi dan pemulihan. Audit ini harus transparan, melibatkan akademisi dan masyarakat sipil.
Langkah kedua, sistem pengawasan hutan berbasis teknologi. Aceh dapat mengadopsi pemantauan satelit harian seperti Global Forest Watch, drone patroli rutin, beri akses database pelaporan masyarakat berbasis aplikasi. Terkait hal ini teknologi bisa memutus jaringan mafia kayu dengan bukti digital yang kuat. Langkah ketiga, rehabilitasi DAS secara terintegrasi, dalam hal ini program rehabilitasi hulu DAS harus menjadi prioritas.
Ini meliputi penanaman kembali pohon lokal bernilai ekologis tinggi, pembangunan sabuk hijau di tepi sungai, restorasi kawasan yang rusak berat oleh tambang.
Dalam hal ini tidak cukup hanya menanam bibit (reboisasi), tetapi butuh rencana pemeliharaan minimal 5 tahun dan berkelanjutan. Langkah keempat pemberdayaan masyarakat adat dan gampong. Masyarakat adat memiliki sistem pengelolaan hutan yang jauh lebih lestari. Model seperti hutan adat, perhutanan sosial, eco-village berbasis konservasi, bisa diperluas dengan dukungan pemerintah. Langkah kelima yaitu penataan ruang yang berpihak pada ekologi. Rencana tata ruang harus berbasis kajian risiko bencana, membatasi alih fungsi hutan, mengembangkan insentif bagi pemilik lahan untuk tetap mempertahankan tutupan vegetasi.
Langkah keenam transparansi dan kepemimpinan hijau. Pemimpin daerah harus menjadi “champion” lingkungan. Kebijakan publik harus berorientasi pada keberlanjutan, bukan kepentingan jangka pendek. Aceh bisa bangkit, jika berani memilih jalan sulit, bencana yang melanda Aceh bukan takdir semata. Ia adalah sinyal dari alam yang memaksa kita bercermin. Jika Aceh ingin keluar dari lingkaran krisis ekologis, dibutuhkan keberanian kolektif untuk menata ulang arah pembangunan yang bersahabat dengan alam.
Aceh sudah berkali-kali bangkit dari luka besar termasuk tsunami 2004. Kehancuran itu mengajarkan bahwa kehidupan bisa dimulai kembali dengan komitmen, kesadaran, dan solidaritas. Kini, tantangannya berbeda, tetapi esensinya sama: berani mengambil keputusan besar demi masa depan generasi berikutnya.
Aceh bukan hanya sebuah wilayah geografis. Ia adalah rumah bagi sejarah panjang, keimanan, dan harapan. Menjaga alam Aceh adalah menjaga martabat dan masa depan rakyatnya.
Posting Komentar untuk "Aceh dalam Bencana,Butuh Revitalisasi Ekologis"
Posting Komentar