Tentara Rusia Dilanda Fenomena Gangguan Kejiwaan dan Alkoholisme Setelah Bertempur di Ukraina

Tentara Rusia Dilanda Fenomena Gangguan Kejiwaan dan Alkoholisme Setelah Bertempur di Ukraina

  • Tentara Rusia dilanda fenomena krisis kesehatan mental dampak perang melawan Ukraina yang berlarut
  • Gejala yang paling umum, dilaporkan oleh lebih dari 70 persen responden, adalah ingatan yang mengganggu tentang pertempuran
 

menggapaiasa.com Andrei Burychin, 22 tahun, adalah satu di antara jutaan tentara Rusia yang diterjunkan dalam apa yang disebut Moskow sebagai operasi militer khusus ke wilayah Ukraina.

Dia terluka saat bertempur di Ukraina. 

Musim gugur tahun lalu, ia dirawat di rumah sakit jiwa di Yekaterinburg dan kemudian dipulangkan dengan apa yang digambarkan pengacaranya sebagai "diagnosis yang mengerikan".

"Dalam minggu-minggu berikutnya, Burychin mulai minum alkohol secara berlebihan," tulis laporan TMT, menggambarkan efek gangguan kejiwaan yang menerpa prajurit Rusia setelah menyaksikan kebrutalan perang. 

Menurut pengacaranya, ia mencoba mengemudi kembali ke unitnya di wilayah Chelyabinsk dalam keadaan mabuk, lalu dihentikan karena mengemudi dalam keadaan mabuk, dan diserahkan kepada polisi militer. 

Setelah mendengar peletonnya sedang bersiap untuk operasi tempur baru yang sulit, ia kembali ke garis depan di wilayah Donetsk, Ukraina untuk berlatih bersama mereka, kata pengacaranya.

Kisah Burychin bukanlah hal yang aneh.

Pada tahun keempat perang skala penuh Rusia di Ukraina, laporan gangguan stres pascatrauma (PTSD) dan kecanduan alkohol di kalangan tentara kontrak dan pasukan mobilisasi meningkat. 

Statistik Gangguan Kejiwaan Tentara Rusia

Saat media-media independen mendokumentasikan krisis kesehatan mental yang berkembang, para peneliti Rusia sekarang mulai menerbitkan data yang mengukur skala masalah tersebut. 

Satu studi  yang dilakukan oleh 16 psikiater dan peneliti medis  mensurvei 140 prajurit yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa No 1 Moskow antara tahun 2023 dan 2024.

Usia rata-rata prajurit ini adalah 34 tahun.

Beberapa telah bertempur di wilayah Donbas, Ukraina timur jauh sebelum invasi skala penuh tahun 2022.

Sekitar setengah dari peserta didiagnosis PTSD saat masuk.

Gejala yang paling umum, dilaporkan oleh lebih dari 70% responden, adalah ingatan yang mengganggu tentang pertempuran.

Namun, pada saat keluar, hanya 18,6% yang masih memiliki diagnosis PTSD.

Sisanya diklasifikasikan ulang sebagai penderita gangguan mental organik yang disebabkan oleh cedera otak (26%), gangguan afektif (20%), gangguan skizotipal atau delusi (15%), atau ketergantungan alkohol (10%). Diagnosis yang lebih jarang mencakup gangguan psikotik dan gangguan penyesuaian.

Kecemasan (75%), depresi (51%), dan insomnia (48%) merupakan gejala penyerta yang paling umum.

Psikiater juga mencatat perilaku mencari perhatian, kesulitan berkomunikasi dengan kerabat, dan penyalahgunaan alkohol yang meluas.

Prajurit Rusia terkadang juga berbagi dampak psikologis akibat perang yang menimpa mereka di media sosial. 

"Bagaimana cara saya diberhentikan karena alasan medis? Lebih tepatnya, bagaimana saya membuktikan [kepada komandan saya] bahwa kondisi saya tidak stabil dan pikiran saya sedang kacau?" tanya seorang tentara di jejaring sosial VKontakte.

 "Tiga tahun tanpa istirahat atau keluarga, dan terkadang selama pertempuran, kita kehilangan kendali. Saya butuh psikiater atau sanatorium."

PTSD dan Perasaan Sia-sia

Prajurit lain Rusia yang berhasil memperoleh izin pulang medis menceritakan mimpi buruk yang berulang.

"Selama dua bulan, saya terbangun dengan keringat dingin karena mimpi yang sama. Saya ditangkap, saya melihat rekan-rekan saya terbunuh, lalu saya juga terbunuh," ujarnya, seraya menambahkan kalau seorang psikiater menyatakannya tidak layak untuk dinas militer.

Keluarga prajurit juga turut menyampaikan kisah tentang PTSD, ledakan kekerasan, dan kecanduan di kelompok dukungan daring.

Ada yang mencari “bantuan nyata” untuk orang-orang yang mereka sayangi, sementara yang lain mencari spesialis kecanduan yang bersedia merawat prajurit “secara diam-diam, tanpa konsekuensi.”

Seorang psikolog Rusia yang bekerja dengan para veteran mengatakan kepada TMT, kalau minum alkohol berlebihan sering kali berasal dari kemarahan dan keterasingan. 

"Mereka geram dengan ketidakpedulian warga sipil, yang terus menjalani hidup tanpa tahu apa itu perang," kata psikolog itu, yang berbicara dengan syarat anonim dilansir TMT

"Seorang 'pahlawan operasi militer khusus' mengatakan kepada saya bahwa dia tidak keluar rumah selama dua bulan agar tidak memukuli seseorang. Dia minum terus sampai dia menyadari bahwa dia menjadi pecandu alkohol," cerita psikolog itu.

Faktor lain yang mendorong tentara mengonsumsi alkohol termasuk kilas balik PTSD, perasaan bahwa hidup mereka sia-sia tanpa misi tempur dan masa depan yang tidak pasti, kata psikolog tersebut. 

Para prajurit yang ia gambarkan mengalami cedera yang membuat mereka mustahil untuk kembali ke garis depan.

"Ketika para prajurit dirawat di Moskow, orang-orang yang lewat di jalan mungkin berterima kasih atas peran mereka dalam perang. Namun di kota-kota kecil, mereka merasa orang-orang menjauhi mereka, seolah-olah kontribusi mereka tidak berarti apa-apa," ujarnya. 

Pikiran Bunuh Diri

Selain PTSD dan alkoholisme, psikiater telah mulai mempelajari perilaku bunuh diri di kalangan tentara Rusia yang kembali dari perang. 

Sebuah studi tahun 2025 di Novosibirsk mensurvei 130 prajurit yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa No. 3 kota tersebut antara tahun 2022 dan 2024.

Dari jumlah tersebut, 32 pria (24%) telah dirawat setelah mencoba bunuh diri.

Para peneliti menemukan kalau upaya bunuh diri paling umum terjadi di kalangan prajurit yang didiagnosis dengan PTSD klinis atau gangguan penyesuaian.

Mereka mencatat kalau upaya mobilisasi Rusia pada musim gugur 2022 telah bertindak sebagai faktor stres tambahan, yang meningkatkan risiko bunuh diri lebih dari dua kali lipat. 

Bagi prajurit dengan gejala PTSD, risikonya meningkat lebih dari lima kali lipat.

Tentara jarang mencari bantuan psikologis sendiri — keengganan yang oleh para spesialis dikaitkan dengan gagasan tradisional tentang maskulinitas, ketidakpercayaan yang meluas terhadap sistem kesehatan mental Rusia, dan ketakutan bahwa mencari pengobatan dapat membahayakan karier militer seseorang.

"Prajurit di Rusia jarang berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater kecuali kondisi mereka sudah tak tertahankan, atau kerabat mereka mendesak," ujar psikolog Rusia tersebut kepada TMT.

"Bagi seorang prajurit, mengakui masalah kesehatan mental dianggap sebagai tanda kelemahan. Hal itu tidak sesuai dengan citra seorang pejuang yang berjaya," katanya.

Posting Komentar untuk "Tentara Rusia Dilanda Fenomena Gangguan Kejiwaan dan Alkoholisme Setelah Bertempur di Ukraina"