Terungkap, di Balik Pengakuan Palestina oleh Prancis Ada Agenda Pelucutan Hamas
menggapaiasa.com.CO.ID, PARIS – Di balik langkah pengakuan Negara Palestina, terungkap bahwa Prancis juga menyiapkan agenda pelucutan Hamas. Negara itu mengusulkan pembentukan pasukan internasional yang akan menggelar operasi demiliterisasi Gaza.
Prancis memajukan inisiatif yang bertujuan untuk membentuk “Misi Stabilisasi Internasional” yang akan menggantikan IDF di Gaza dan berupaya melucuti senjata Hamas setelah perang berakhir, menurut rancangan proposal yang diperoleh The Times of Israel.
Proposal tersebut bertujuan untuk mengoperasionalkan deklarasi oleh sejumlah negara Arab di PBB pada Juli yang menyerukan solusi dua negara, perlucutan senjata Hamas dan penyerahan keamanan internal secara bertahap di Gaza ke Otoritas Palestina.
Kelompok Hamas terbentuk menyusul perlawanan semesta Palestina alias Intifada pada 1980-an. Sayap militernya, Brigade Izzuddin al-Qassam, bertanggung jawab melakukan perlawanan militer terhadap penjajah Israel.
Sebagai partai politik, Hamas memenangkan pemilu perdana Palestina pada 2006. Kendati demikian, kemenangan itu enggan diakui negara-negara Barat yang mencap Hamas sebagai kelompok teror. Dengan dukungan negara Barat, faksi Fatah melakukan pemberontakan atas kemenangan itu yang memicu perang sipil di Gaza.
Bagaimanapun, Hamas berhasil merebut kendali Gaza yang kemudian dibalas Israel dan sekutunya dengan blokade atas wilayah itu, menjadikannya penjara terbuka terbesar di dunia.
Pada 7 Oktober, Hamas bersama faksi-faksi perlawanan lainnya di Gaza seperti Jihad Islam Palestina, PFLP, DFLP, dan Komite Nasional mencoba membongkar kepungan itu dengan melakukan serangan ke Israel. Serangan itu diklaim Israel menewaskan seribu lebih tentara Israel dan warga sipil. Pihak Israel belakangan mengakui sebagian korban jiwa adalah karena tindakan militer Israel sendiri.
Para pejuang Palestina juga menyandera 200 lebih warga sipil dan tentara Israel untuk ditukar dengan ribuan warga Palestina yang dipenjarakan tanpa proses hukum oleh Israel.
Israel kemudian membalas aksi itu dengan melakukan serangan brutal di Gaza yang sejauh ini menewaskan lebih dari 65 ribu jiwa. Israel juga menerapkan blokade yang menyebabkan ratusan orang meninggal kelaparan. Berbagai lembaga termasuk penyelidik PBB menyimpulkan bahwa Israel melakukan genosida di Gaza dengan agresi tersebut. Sejauh ini, PM Israel Benjamin Netanyahu terus menggagalkan upaya gencatan senjata dan pertukaran sandera.
Proposal terkini Prancis membayangkan beberapa negara memimpin kekuatan transisi dan secara khusus menyebutkan Mesir, Yordania, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Qatar sebagai kandidat pilihan.
Rancangan tersebut “menguraikan jalur pragmatis untuk mengerahkan – dalam jangka waktu singkat – misi stabilisasi sementara yang dimandatkan oleh PBB dan dipimpin secara regional di Palestina sebagaimana diatur dalam Deklarasi New York, ketika lingkungan sudah cukup permisif.”
Deklarasi New York disponsori oleh Perancis dan Arab Saudi pada bulan Juli dan kemudian didukung oleh negara-negara Arab, termasuk Qatar dan Mesir, sebelum diabadikan dalam resolusi Majelis Umum PBB awal bulan ini.
Deklarasi tersebut menyatakan bahwa para penandatangan “mendukung pengerahan misi stabilisasi internasional sementara atas undangan Otoritas Palestina dan di bawah naungan PBB dan sejalan dengan prinsip-prinsip PBB.”
“Misi ini, yang dapat berkembang tergantung pada kebutuhan, akan memberikan perlindungan kepada penduduk sipil Palestina, mendukung pengalihan tanggung jawab keamanan internal kepada Otoritas Palestina, memberikan dukungan peningkatan kapasitas bagi Negara Palestina dan pasukan keamanannya, dan jaminan keamanan bagi Palestina dan Israel, termasuk pemantauan gencatan senjata dan perjanjian perdamaian di masa depan, dengan menghormati sepenuhnya kedaulatan mereka,” tambah Deklarasi New York.

Proposal Perancis untuk Misi Stabilisasi Internasional, yang diperoleh The Times of Israel, lebih spesifik mengenai mandat dan ruang lingkup misi tersebut, sehingga berpotensi menjadi pendahulu resolusi Dewan Keamanan PBB yang akan membentuk kekuatan tersebut.
Rancangan tersebut menyatakan bahwa pasukan tersebut idealnya berbentuk operasi penjaga perdamaian PBB (PKO) atau misi politik khusus (SPM), yang secara resmi netral, memiliki legitimasi internasional dan beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip yang jelas.
Namun, pembentukan Misi Multinasional ad hoc tingkat rendah yang dipimpin dan dikomandoi oleh negara-negara tertentu akan memungkinkan pengerahan lebih cepat, karena memerlukan lebih sedikit persetujuan, dan lebih mungkin diterima oleh pihak-pihak di lapangan, demikian isi proposal tersebut. Misi tersebut akan didanai oleh donor sukarela, seperti negara-negara Teluk, melalui dana perwalian khusus, bukan melalui kontribusi wajib, kata rancangan tersebut.
Berkebalikan dengan sikap terhadap Hamas dalam proposal tersebut, negara-negara Barat termasuk Prancis, Inggris, Jerman, dan utamanya AS; terus memasok senjata yang digunakan Israel untuk membantai warga Gaza.
Prancis sendirian, telah mengirimkan senjata ke Israel tanpa henti sejak awal genosida di Gaza, menurut laporan 10 organisasi nonpemerintah yang dilansir pada Juni 2025. Aliran senjata dari Prancis ke Israel melalui udara dan laut “tidak terputus” sejak Oktober 2023, ketika genosida warga Palestina di Gaza dimulai, kata LSM-LSM tersebut, termasuk kelompok-kelompok seperti Stop Arming Israel France, Gerakan Pemuda Palestina, dan Boikot, Divestasi, Sanksi (BDS).
Sebagaimana diliput oleh harian L'Humanite, laporan tersebut mengklaim bahwa peralatan militer diekspor dari Perancis ke Israel dalam dua kategori terpisah: bom, granat, torpedo, ranjau, rudal, dan amunisi perang lainnya, ditambah peluncur roket, granat tangan, penyembur api, artileri, senapan militer dan suku cadang serta aksesoris senapan berburu.
Laporan ini menggarisbawahi bahwa lebih dari 15 juta item pada kategori pertama dan 1.868 item pada kategori kedua dikirim ke Israel. Laporan tersebut juga mencatat bahwa nilai total pengiriman melebihi 10,3 juta dolar AS. Laporan itu menambahkan bahwa suku cadang untuk jet tempur F-35 telah dikirim dari AS ke Israel melalui Bandara Charles de Gaulle di Paris.

Seperti Prancis, Inggris yang baru-baru mengakui Negara Palsestina juga mensyaratkan Hamas tak boleh terlibat dalam pemerintahan Palestina kedepannya. Seperti Prancis juga, Inggris terus mengirimkan alat tempur yang dipakai Israel melakukan genosida di Gaza.
Sejak tahun 2015, Inggris telah menyetujui izin ekspor senjata ke Israel senilai lebih dari 676,4 juta dolar AS. Ekspor ini yang mencapai puncaknya pada tahun 2018, menurut kelompok penekan Campaign Against Arms Trade (CAAT).
BBC melansir, sebagian besar perhatian seputar dukungan Inggris terhadap Israel terfokus pada suku cadang buatan Inggris untuk jet F-35. Pesawat tempur multi-peran yang canggih ini telah digunakan secara luas oleh Israel untuk memorakporandakan Gaza
Inggris memasok antara 13-15 persen komponen yang digunakan dalam jet tersebut, termasuk kursi ejektor, badan pesawat belakang, sistem pencegat aktif, laser penargetan, dan kabel pelepas senjata. Namun, beberapa bagian tidak disertakan pada jet versi Israel.
Setelah Partai Buruh berkuasa tahun lalu, mereka menangguhkan 30 dari 350 izin ekspor senjata, sehingga berdampak pada peralatan seperti suku cadang untuk jet tempur, helikopter, dan drone.
Suku cadang untuk F-35 tidak termasuk dalam larangan ekspor. Pemerintah Inggris berdalih mengatakan mereka tidak dapat mencegah Israel memperoleh komponen-komponen ini karena komponen-komponen tersebut dikirim ke pusat-pusat manufaktur di luar negeri sebagai bagian dari program global – bukan secara langsung ke Israel.
Royal Air Force (RAF) juga telah melancarkan ratusan penerbangan pengawasan di Gaza sejak Desember 2023. Aksi itu dilaporkan menggunakan pesawat mata-mata Shadow R1 yang berbasis di pangkalan RAF di Akrotiri di dekat Siprus.
Posting Komentar untuk "Terungkap, di Balik Pengakuan Palestina oleh Prancis Ada Agenda Pelucutan Hamas"
Posting Komentar