Ruang Kecil, Gugatan Besar: Cerita dari Sudut Baca Rumah Buku SaESA

Warta Bulukumba - Bulukumba, 11 September 2025 — Di sebuah jalan desa yang berdebu, dengan lubang-lubang jalanan yang tak pernah tuntas ditambal, berdiri sebuah rumah panggung tua. Catnya mulai mengelupas, papan kayu di dindingnya berderit setiap kali angin sore berhembus. Dari luar, tak ada yang istimewa. Tak ada papan nama, tak ada plang resmi seperti kantor desa atau sekolah negeri. Hanya sebuah pintu kayu dengan stiker yang menempel hampir menutupi seluruh permukaannya.

Namun, begitu pintu itu didorong, suasana berubah drastis. Ruangan sempit itu dipenuhi buku. Bukan buku yang tersusun rapi ala perpustakaan pemerintah, melainkan buku yang digantung dengan tali, berserakan di meja, atau ditumpuk seadanya di pojok ruangan. Aroma kertas lama bercampur dengan kopi hitam dan asap rokok, menciptakan atmosfer yang tak pernah ditemukan di ruang baca resmi.

Itulah Rumah Buku SaESA. Sebuah nama sederhana, tapi semangat di dalamnya jauh dari sederhana.

Pengetahuan yang lahir dari keresahan

“Kami tidak ingin tempat ini seperti perpustakaan resmi yang steril. Sudut Baca harus liar. Bebas. Karena pengetahuan memang seharusnya liar,” ujar Sakkir, lelaki berusia 28 tahun, matanya berkilat seakan baru saja menemukan alasan hidupnya.

Rumah Buku SaESA tidak lahir dari anggaran pemerintah. Tidak pula dari program CSR perusahaan dengan logo besar yang suka menempel demi citra baik. Ia lahir dari sumbangan kecil: buku-buku bekas dari gudang toko, dan energi keresahan yang semakin sulit dibendung.

Keresahan itu sederhana, tapi tajam: sekolah terlalu sibuk mengejar kurikulum, sementara akal sehat dibiarkan kering. Anak-anak tumbuh dengan buku pelajaran yang lebih mirip manual kepatuhan ketimbang percikan imajinasi.

Membaca bukan untuk nilai, tapi untuk merdeka

Di SaESA, membaca bukanlah soal angka rapor. Membaca adalah cara untuk meruntuhkan tembok kepatuhan yang lama-lama terasa seperti penjara. Buku di sini bukan alat ukur prestasi, melainkan pintu untuk keluar dari belenggu.

Sore itu di Desa Bontonyeleng, Kecamatan Gantarang, Kabupaten Bulukumba, suara kehidupan terdengar biasa: ayam berkokok, anak-anak bermain di tanah lapang, para petani pulang dengan pakaian berdebu. Tapi di dalam rumah panggung itu, percakapan lain tengah tumbuh—percakapan yang menolak diam.

“Di sini, orang belajar bukan untuk patuh, tapi untuk membangkang,” kata Sakkir. Tangannya memegang buku Bakunin: God and The State, matanya menatap halaman dengan sorot tajam.

Arena pertarungan, bukan ruang tenang

Bagi mereka, Sudut Baca SaESA bukanlah ruang tenang, melainkan arena pertarungan ide. Setiap halaman yang dibuka adalah percikan api. Diskusi berlangsung keras, suara saling menindih, tapi justru di situlah keberanian diuji. Tidak ada kebenaran mutlak.

Buku bukan kitab suci; ia bisa diperdebatkan, dibanting, bahkan ditinggalkan jika tak lagi relevan. Anak-anak dan remaja yang datang ke SaESA belajar untuk berani mempertanyakan apa pun, bahkan hal-hal yang dianggap tabu di sekolah formal.

Dan di situlah letak bahayanya. Bahaya bukan bagi masyarakat, melainkan bagi sistem yang sudah lama terbiasa menuntut diam dan patuh.

 

Pemerintah gelisah, SaESA teguh

Atmosfer bebas seperti itu membuat penguasa lokal tidak sepenuhnya nyaman. Pemerintah desa pernah berkomentar sinis: “Ngapain bikin tempat aneh-aneh begitu?” Sindiran yang menyiratkan ketakutan akan hal-hal di luar kendali mereka.

Namun, bagi SaESA, sindiran itu hanya menjadi bahan bakar.

“Justru karena sekolah dan perpustakaan resmi tidak cukup, kami bikin Sudut Baca—bahkan sekolah yang tidak tunduk pada sistem pemerintah. Kalau semua orang hanya membaca apa yang ditentukan pemerintah, bagaimana kita bisa berpikir bebas?” balas Sakkir.

Kata-katanya meluncur dengan mantap, seolah sudah lama dipendam. Ia tahu betul, membiarkan orang hanya membaca buku yang ditentukan penguasa sama saja dengan membunuh kebebasan berpikir.

Membaca, bertanya, menggugat

Dari balik kesederhanaannya, SaESA memang terasa berbahaya. Bukan bahaya yang melahirkan kriminal, melainkan bahaya yang menyalakan api kesadaran. Dan kesadaran, bagi kekuasaan, adalah musuh yang paling ditakuti.

“Orang bisa dikendalikan selama ia tidak berpikir. Begitu ia membaca, ia akan bertanya. Begitu bertanya, ia akan menggugat,” ucap Sakkir. Kalimat itu lebih mirip vonis ketimbang sekadar pendapat.

Dan dari situlah, SaESA menemukan dirinya: ruang kecil yang berani menggugat, bukan dengan senjata, tapi dengan pikiran.

Bom waktu dari Desa Bontonyeleng

Sudut Baca SaESA adalah bom waktu. Bom yang berdetak di tangan anak-anak desa yang muak dengan janji kosong. Bom yang tidak akan meledak dalam dentuman fisik, melainkan dalam pikiran yang tak lagi bisa dibungkam.

Setiap buku yang dipinjam, setiap diskusi yang berlangsung, adalah detik-detik yang mempercepat dentuman itu. Dentuman yang akan mengguncang bukan hanya desa Bontonyeleng, tapi siapa pun yang percaya bahwa diam adalah satu-satunya pilihan rakyat kecil.

“Jangan kira ini ruang santai,” ujar Sakkir menutup percakapan. “Sudut Baca adalah ancaman bagi siapa saja yang ingin rakyat tetap diam.”

Dari sebuah ruangan kecil dengan cat mengelupas, ancaman itu terus tumbuh—diam-diam, tapi pasti.***

Posting Komentar untuk "Ruang Kecil, Gugatan Besar: Cerita dari Sudut Baca Rumah Buku SaESA"