Makna dan Filosofi Mendalam Jamasan Pusaka Jambansari: Bukan Hanya Sekadar Tradisi - MENGGAPAI ASA

Makna dan Filosofi Mendalam Jamasan Pusaka Jambansari: Bukan Hanya Sekadar Tradisi

AKSARA JABAR - Kepulan asap dupa dan kemenyan perlahan-lahan mengepul dari kendi kecil berdiameter sekitar 10 sentimeter. Aroma harum memenuhi udara pagi, membalut suasana sakral di Situs Jambansari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Minggu 14 September 2025.

Sejak pukul 08:00 WIB, ratusan masyarakat dari berbagai daerah, bukan hanya warga Ciamis, dari jakarta hingga Lampung dan daerah lainnya ikut menyaksikan dengan khidmat pelaksanaan Jamasan Pusaka, sebuah tradisi adat Sunda yang telah turun-temurun dipelihara oleh kasepuhan Galuh dan Jambansari.

Tujuh batang dupa menyala bersamaan, seolah menjadi pengantar doa yang melangit. Para sepuh berjajar di barisan depan, bersila mengenakan busana adat Sunda pangsi hitam dan putih dengan ikat kepala khas.

Di hadapan mereka, tersusun kelengkapan ritual: tujuh tangkai bunga sedap malam berwarna kekuningan, kendi besar yang akan diisi campuran air dari ketujuh mata air, kemudian dua wadah sesajen, hingga bubur beureum bodas (merah-putih), Enam kelapa muda, satu kelapa tua, dan dua nyiru besar berisi sesajen. yang syarat akan makna dan simbol.

Memasuki pukul 09:30 WIB, sesi upacara memasukan ketujuh mata air yang dibawa oleh tujuh orang pemuda dimulai. Mereka masing-masing membawa satu kendi kecil yang berisi air dari tujuh titik mata ai kemudian menuangkannya ke dalam kendi besar yang sudah disediakan.

Air menjadi elemen sentral dalam jamasan pusaka. Satu kendi besar kemudian diisi air dari tujuh titik mata air keramat, yaitu: Air Nusantara, Air Jambansari, Air Situ Lengkong Panjalu, Air Cikawali Situs Astana Gede Kawali, Air Citeguh Kahuripan Karangkamulyan, Air Pancawarna Situs Galuh Salawe, dan Air Situs Pulo Majeti.

Air tersebut digunakan untuk mencuci tujuh keris pusaka dan satu tongkat. Menurut juru kunci Situs Jambansari, Nandang Sembadaputra, setiap mata air diyakini memiliki karomah (keberkahan spiritual).

“Seperti halnya sumur Zamzam yang membawa keberkahan Siti Hajar, Ibrahim, dan Ismail, di tanah Sunda pun setiap mata air memiliki karomahnya. Saat air itu disatukan, maka menyatu pula berkahnya,” ungkap Nandang.

Pada pukul 10:30 WIB, upacara ritual pembersihan pusaka yang dicuci menggunakan ketujuh titik mata air yang sudah disatukan dalam kendi, dimulai. Ketujuh keris dan satu buah tongkat pusaka diantar oleh beberapa pemuda, pusaka-pusaka yang mereka bawa dibungkus dengan kain putih dan diserahkan kepada sesepuh yang duduk di depan.

Diiringi dengan suara rajah, ritual mencuci pusaka dilakukan dengan khidmat. Masyarakat yang menyaksikan merasakan suasana penuh kesakralan, sebuah tradisi budaya yang diwariskan dari para leluhur.

Ritual jamasan tak sekadar mencuci pusaka. Ia menyimpan simbol-simbol makna yang dalam

Nyiru, wadah anyaman bambu yang biasa dipakai untuk menampi beras, memiliki arti filosofis tersendiri. Kata Nyi (wanita) dan Ru (ruh) melambangkan peran perempuan sebagai sumber kehidupan dan pengabdian dalam rumah tangga.

Satu nyiru berisi tujuh macam buah: pisang emas, nanas, buah naga, anggur, apel, mangga, dan jeruk. Filosofinya, menurut Nandang, adalah harapan agar setiap usaha manusia “kaala buahna” (berbuah hasil).

Nyiru lainnya berisi jajanan manis, bunga wangi, hingga rokok dan telur ayam kampung. Makanan ringan melambangkan “enteng-entengan” doa agar hidup dimudahkan dan ringan dijalani.

Tujuh bunga harum menandakan perilaku manusia yang sebaiknya menebarkan kebaikan setiap hari, menjadi “siliwangi”, harum dalam laku dan perbuatan.

Tak kalah unik, delapan gelas berisi minuman berbeda juga tersaji: kopi pahit, kopi manis, teh, susu, air berisi pisang, bunga merah, hingga rujak. Ditambah bubur beureum bodas, keduanya kerap hadir dalam ritual adat Sunda.

“Semua itu siloka,” jelas Nandang. “Rujak yang asam, kopi yang pahit dan manis, melambangkan suka duka kehidupan manusia. Semua getir-manis sudah diatur Allah. Bubur merah-putih pun menjadi pengingat keseimbangan antara jasmani dan rohani.”

Kata dia, Jamasan Pusaka bukan sekadar prosesi tahunan, melainkan warisan ajaran para leluhur, yang didalamnya terkandung nilai-nilai silaturahmi yang tidak pernah terbatas antar-manusia, tetapi juga dengan seluruh ciptaan tuhan.

Ia menyebut, silaturahmi itu bukan hanya dengan sesama manusia, tetapi juga dengan binatang, tumbuhan, hingga seluruh alam semesta. Karena hakekatnya, manusia ditunjuk sebagai khalifah atau pemimpin di bumi, yang harus menjaga semua ciptaan tuhan.

"Warisan adat budaya leluhur ini hidup, seperti ayat yang menjelma dalam kehidupan," ujarnya.

Di akhir kegiatan, air bekas pencucian pusaka dan sesajen kemudian dibawa oleh masyarakat yang hadir. Setiap orang membawa sebagian, sebagai simbol keberkahan.***

Posting Komentar untuk "Makna dan Filosofi Mendalam Jamasan Pusaka Jambansari: Bukan Hanya Sekadar Tradisi"