Koeksistensi Manusia - Orang Utan Tapanuli Butuh Kolaborasi Multipihak

Pelestarian orang utan termasuk orang utan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) menghadapi tantangan yang kompleks dan melibatkan berbagai faktor. Para ahli menilai koeksisten manusia-orang utan Tapanuli bisa diwujudkan dengan kolaborasi multipihak dan komitmen jangka panjang.
Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) Kementerian Kehutanan, Nunu Anugrah, mengatakan tantangan pelestarian orang utan Tapanuli antara lain adalah fragmentasi dan menyempitnya habitat, perburuan dan perdagangan ilegal, isolasi populasi, dan risiko genetik penyakit, serta konflik dengan manusia.
Nunu menyebut Pemerintah Indonesia telah melindungi orang utan Tapanuli secara hukum melalui Peraturan Menteri LHK No. P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018.
"Berbagai inisiatif telah dilaksanakan untuk mendorong koeksistensi antara manusia dan orang utan Tapanuli, seperti restorasi habitat, perlindungan serta pengamanan populasi dan habitat orang utan, rehabilitasi orang utan karena jumlah populasinya yang rendah, perlindungan intensif pada kantong-kantong habitat orang utan, pengawasan dan penegakan hukum, serta penyadartahuan dan edukasi publik," kata Nunu dalam Belantara Learning Series Episode 13, pada Kamis (4/9).
Peneliti Ahli Utama, Pusat Riset Zoologi Terapan BRIN, Wanda Kuswanda, mengungkapkan orang utan Tapanuli adalah spesies kera besar yang telah dipisahkan dari orang utan Sumatera (Pongo abelii) pada akhir tahun 2017 lalu. Menurut Daftar Merah IUCN, orang utan Tapanuli berstatus kritis (Critically Endangered) atau sangat terancam punah karena habitatnya terbatas hanya di Hutan Batangtoru, Tapanuli Selatan di Sumatera Utara.
Berdasarkan dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Pemerintah Indonesia 2019-2029, populasi orang utan Tapanuli diperkirakan berjumlah 577-760 individu saja.
Menurut Wanda, orang utan Tapanuli hanya dapat dijumpai di Hutan Batangtoru yang meliputi tiga kabupaten, yaitu Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Luasan Lanskap Batangtoru diperkirakan seluas 240–280 ribu hektare. Adapun luas habitat orang utan Tapanuli hanya sekitar 138.435 ha atau 49% serta terpisah dalam tiga blok habitat. Orang utan Tapanuli sangat menyukai tanaman budidaya yang ditanam masyarakat sehingga dapat menimbulkan konflik.
Ia menilai upaya mitigasi konflik antara manusia dan orang utan Tapanuli harus menjadi prioritas multi pihak. Prinsip dasar dalam mitigasi konflik adalah keselamatan bagi manusia dan orang utan Tapanuli.
Mitigasi konflik dapat dilakukan untuk mengurangi atau menghapus risiko kerugian dan korban yang mungkin terjadi pada kedua belah pihak. "Terwujudnya koeksistensi sangat bergantung pada kita sebagai manusia yang diberi amanah sebagai khalifah di bumi, dangan menyetarakan pemenuhan kepentingan manusia dan kebutuhan untuk orang utan," kata Wanda.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Belantara Foundation Dolly Priatna menyatakan saat ini koekistensi atau hidup berdampingan secara harmonis antara manusia dengan satwa liar sudah menjadi keniscayaan. Salah satu cara yang dapat diaplikasikan adalah menggunakan pendekatan C2C, atau Conflict to Coexistence, yaitu bagaimana mengubah konflik menjadi sebuah koeksistensi.
Pendekatan yang holistik dan adaptif ini menerapkan empat prinsip utama, yaitu menjaga toleransi, berbagi tanggung jawab, membangun ketahanan, serta mengedepankan holisme. Hasil utama yang diharapkan dari pendekatan ini adalah pelestarian satwa liar, hidup berdampingan, perlindungan habitat, dan mengamankan mata pencaharian dan aset masyarakat.
Dolly, yang juga pengajar di Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan, mengatakan untuk membangun dan mewujudkan koeksistensi antara manusia dengan satwa liar yang berkelanjutan diperlukan adanya kondisi kunci dan langkah konkrit. Misalnya, perencanaan penggunaan lahan berkelanjutan, keterlibatan masyarakat dan pendidikan, dan adanya manajemen konflik manusia-satwa liar.
Selain itu, diperlukan penghidupan masyarakat yang berkelanjutan, berjalannya penegakan hukum yang tegas, penelitian llmiah dan pemantauan secara regular, kolaborasi dan kemitraan multi pihak, serta kebijakan yang mendukung di tingkat pusat dan daerah. Yang tak kalah penting adalah komitmen jangka panjang dari para pihak, serta berjalannya pelestarian dan perlindungan habitat satwa liar.
“Kami percaya dengan adanya kemauan dan komitmen bersama, serta kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, akademisi, pelaku usaha, NGO, masyarakat lokal, serta media, mimpi kita bersama untuk menciptakan lingkungan dimana manusia dan satwa liar dapat hidup berdampingan secara harmonis dapat diwujudkan," kata Dolly.
Upaya Membangun Kesadaran Publik
Direktur Hubungan Eksternal PT Agincourt Resources, Sanny Tjan, menegaskan acara seminar nasional yang didukung perusahaan melalui Belantara Foundation sebagai penyelenggara, merupakan kegiatan untuk membangun kesadaran publik serta meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan keanekaragaman hayati, termasuk pelestarian orang utan Tapanuli beserta habitatnya.
Menurut Sanny, keberhasilan konservasi keanaekaragaman hayati salah satunya dapat dicapai melalui kolaborasi multipihak yang berjalan berkesinambungan. Kolaborasi ini perlu menghadirkan kontribusi nyata dari seluruh elemen sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing untuk mewujudkan kehidupan yang selaras atau living in harmony.
“Dengan mengadopsi konsep pentahelix yang menyinergikan akademisi, dunia usaha, komunitas, pemerintah, dan media, kita dapat menemukan pendekatan inovatif sekaligus memperkuat implementasi program pelestarian orang utan Tapanuli. Namun, hal ini membutuhkan koordinasi yang erat serta komitmen berkelanjutan dari semua pihak sesuai peran masing-masing,” tutur Sanny.
Associate Fellow Departemen Antropologi, FISIP Universitas Indonesia dan Co-founder Anama Consulting, Sundjaya, mengatakan strategi konservasi orang utan Tapanuli berbasis masyarakat lokal mulai berkembang dan penting. Etnografi, metode riset dalam antropologi, dapat menjadi langkah awal memahami aspek sosial kultural masyarakat di sekitar hutan dan interaksi mereka dengan orang utan Tapanuli.
"Melalui analisis mendalam dan menyeluruh, etnografi dapat memperkuat strategi dan kebijakan konservasi yang melibatkan pengetahuan dan budaya masyarakat adat atau komunitas lokal, terutama untuk mengoptimalkan faktor-faktor yang dapat mendorong partisipasi aktif mereka dalam pelestarian orang utan Tapanuli," ujar Sundjaya.
Sementara itu, Dekan Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan, Sri Setyaningsih, berharap seminar nasional ini dapat menjadi wadah bagi semua pihak untuk berbagi pengetahuan, pengalaman, serta gagasan baru, tentang bagaimana mewujudkan koeksistensi yang nyata di lapangan.
“Kami berterima kasih kepada Belantara Foundation, PT Agincourt Resources, serta mitra lainnya, yang telah mendukung penuh acara ini sehingga berjalan dengan lancar dan sukses. Semoga seminar ini membawa manfaat besar bagi upaya konservasi dan pembangunan berkelanjutan di Indonesia," ujarnya.
Posting Komentar untuk "Koeksistensi Manusia - Orang Utan Tapanuli Butuh Kolaborasi Multipihak"
Posting Komentar