Kenapa Otak Lebih Suka Dengar Cerita daripada Angka? Ini Penjelasan Psikologisnya!

menggapaiasa.com– Bayangkan kamu sedang mengikuti presentasi. Ada dua pembicara, yang pertama menampilkan grafik penuh angka, sementara yang kedua membuka dengan sebuah kisah nyata tentang seseorang yang hidupnya berubah karena sebuah keputusan. Kira-kira, mana yang lebih mudah kamu ingat?

Sebagian besar orang akan lebih terhanyut oleh cerita. Padahal, angka dianggap lebih ‘ilmiah’ dan objektif.

Fenomena ini bukan sekadar kebetulan, melainkan ada penjelasan psikologi di baliknya.

Otak manusia ternyata memang dirancang untuk lebih cepat menangkap informasi berbentuk narasi dibandingkan data kaku.

Otak dan Daya Tarik Alami pada Cerita

Menurut Harvard Business Publishing, cerita memiliki kekuatan unik karena bekerja dengan cara yang berbeda dibandingkan data.

Saat mendengar angka, bagian otak yang aktif biasanya hanya area bahasa.

Namun, saat mendengar cerita, hampir seluruh otak ikut terlibat, termasuk area yang memproses emosi, pengalaman sensorik, dan bahkan motorik.

Itulah sebabnya sebuah kisah bisa membuat kita merasa seolah-olah ikut mengalami kejadian itu.

Cerita membangkitkan imajinasi, memicu empati, dan memudahkan otak menyimpan informasi.

Sementara angka hanya singgah sebentar, kisah bisa melekat bertahun-tahun.

Mengapa Angka Sulit Melekat?

Bukan berarti angka tidak penting. Data memberi bukti konkret dan memperkuat argumen. Namun, ada alasan mengapa deretan angka sulit melekat di ingatan.

Pertama, otak manusia cenderung cepat lelah ketika berhadapan dengan informasi abstrak. Angka tidak memiliki konteks emosional, sehingga lebih sulit diproses.

Kedua, kapasitas memori kerja otak terbatas. Menurut teori psikologi kognitif, kita hanya bisa menyimpan 5–9 informasi sekaligus dalam memori jangka pendek.

Jadi, ketika disodorkan dengan puluhan angka, otak kewalahan. Inilah sebabnya grafik dan tabel sering membuat audiens kehilangan fokus.

Sebaliknya, cerita menyajikan konteks yang utuh. Alih-alih menghafalkan angka kemiskinan, kita akan lebih mudah ingat kisah seorang anak yang harus berjuang untuk sekolah karena kondisi ekonomi keluarganya.

Angka memberi gambaran besar, tapi cerita membuatnya terasa nyata.

Efek Emosional, Kunci Kekuatan Cerita

Cerita punya senjata rahasia yaitu emosi. Menurut Stanford Graduate School of Business, pesan yang dikemas dalam bentuk cerita 22 kali lebih mudah diingat dibandingkan sekadar data atau fakta kering.

Hal ini karena cerita memicu pelepasan hormon-hormon tertentu dalam otak.

Misalnya, cerita yang mengharukan bisa meningkatkan oksitosin, hormon yang terkait dengan empati dan ikatan sosial.

Cerita yang menegangkan dapat memicu adrenalin, membuat kita lebih waspada.

Dengan kata lain, cerita tidak hanya masuk ke kepala, tapi juga menyentuh hati.

Cerita dalam Kehidupan Sehari-hari

Tak heran jika sejak kecil kita sudah terbiasa belajar lewat cerita.

Dongeng, mitos, atau kisah sejarah diwariskan turun-temurun justru karena mudah diingat.

Bahkan dalam dunia modern, cerita tetap jadi alat komunikasi paling efektif.

Dalam pemasaran, misalnya, brand besar lebih sering mengandalkan storytelling ketimbang sekadar memamerkan angka penjualan.

Sebuah iklan tentang keluarga yang bahagia karena sebuah produk akan lebih memengaruhi konsumen dibanding grafik pertumbuhan perusahaan.

Di dunia kerja pun demikian. Seorang pemimpin yang bisa menjelaskan visi perusahaan lewat kisah nyata akan lebih menggerakkan tim dibandingkan yang hanya menampilkan laporan angka.

Cerita memberi makna, sementara angka hanya memberi gambaran.

Bagaimana Data Bisa Jadi Menarik?

Meski begitu, bukan berarti data harus diabaikan. Tantangannya adalah bagaimana mengubah data menjadi bagian dari cerita.

Data yang dipadukan dengan narasi akan jauh lebih kuat. Misalnya, alih-alih hanya mengatakan “30% anak Indonesia kekurangan gizi”, seorang komunikator bisa menceritakan pengalaman seorang anak di desa terpencil, lalu menghubungkannya dengan data tersebut.

Dengan begitu, angka tidak hanya jadi deretan fakta kering, tetapi juga punya wajah, nama, dan perasaan.

Kombinasi inilah yang membuat pesan lebih meyakinkan sekaligus mengena di hati.

Pada akhirnya, alasan mengapa otak lebih suka mendengar cerita daripada angka kembali pada sifat dasar manusia.

Sejak zaman purba, manusia menggunakan cerita untuk bertahan hidup, seperti mengingat jalur perburuan, mengenal bahaya, hingga membangun kebersamaan.

Cerita adalah bahasa universal yang bisa dipahami lintas generasi dan budaya.

Jadi, lain kali jika kamu ingin meyakinkan orang lain, jangan hanya mengandalkan angka.

Bungkuslah data itu dalam sebuah cerita. Karena meski angka bisa memberi bukti, cerita-lah yang membuat pesanmu hidup, diingat, dan dirasakan.

Posting Komentar untuk "Kenapa Otak Lebih Suka Dengar Cerita daripada Angka? Ini Penjelasan Psikologisnya!"