Apa itu Deindustrialisasi yang Dibantah Menteri Perindustrian

menggapaiasa.com, Jakarta - Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita membantah Indonesia memasuki fase deindustrialisasi. Dia berdalih industri manufaktur di Indonesia masih menjadi penggerak utama (prime over) dalam memacu pertumbuhan ekonomi nasional.
Selain itu, Agus Gumiwang menyampaikan industri manufaktur konsisten menjadi sektor penympang terbesar pada capaian nilai ekspor nasional. “Hal ini sekaligus menepis dan mematahkan analisa dari siapapun yang mengatakan bahwa telah terjadi deindustrialisasi di Indonesia,” tuturnya dalam keterangan tertulis, Jumat, 18 Juli 2025.
Agus Gumiwang menjelaskan performa cemerlang industri manufaktur Indonesia melalui capaian surplus perdagangan sebesar USD 10,4 miliar pada triwulan I 2025. Pada periode yang sama, nilai ekspor manufaktur nasional tercatat hingga USD 52,9 miliar atau setara 79,4 persen dari total ekspor Indonesia
Sebelumnya, sepanjang 2024, ekspor sektor manufaktur menembus 196,5 miliar dan memberi kontribusi 74,25 persen terhadap total ekspor nasional. Realisasi ini meningkat 5,11 persen dari tahun sebelumnya, ketika ekspor manufaktur berada di angka USD 186,9 miliar.
Apa itu Deindustrialisasi?
Dikutip dari p2k.stekom.ac.id, deindustrialisasi adalah penurunan peran industri manufaktur dalam ekonomi suatu negara, baik dari sisi kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) maupun jumlah tenaga kerja yang terserap. Secara konsep, deindustrialisasi muncul ketika biaya produksi makin tinggi, tetapi tidak bisa dikompensasikan lewat harga jual di pasar global.
Kondisi ini membuat industri manufaktur semakin tertekan dan kehilangan daya tarik untuk berkembang. Dampaknya, pangsa ekspor produk manufaktur di pasar internasional ikut menurun. Banyak pihak menilai, deindustrialisasi juga dipengaruhi oleh globalisasi dan pesatnya perdagangan antara negara maju dan berkembang.
Deindustrialisasi terbagi menjadi dua jenis yakni deindustrialisasi positif dan deindustrialisasi negatif. Deindustrialisasi positif terjadi secara alami sebagai bagian dari perkembangan ekonomi suatu negara atau wilayah. Sementara itu, deindustrialisasi negatif atau yang juga dikenal sebagai premature deindustrialization merupakan kemunduran sektor industri sebelum waktunya, yakni ketika produktivitas industri pengolahan justru menurun akibat perlambatan ekonomi.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) menyatakan sektor manufaktur sedang menghadapi tantangan gejala deindustrialisasi prematur. Mengutip laporan LPEM 2 Juni 2025, gejala deindustrialisasi prematur ini ditunjukkan dengan kontribusi terhadap PDB yang menurun, kontribusi penyerapan tenaga kerja yang menurun dan produktivitas yang stagnan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi manufaktur terhadap PDB cenderung konsisten menurun sejak 2010. Sepuluh tahun lalu, sektor industri pengolahan masih mencatatkan andil terhadap PDB Indonesia di atas 20 persen per tahun. Namun, lima tahun kemudian, nilainya turun di bawah 20 persen.
Tetapi, BPS mencatat bahwa andil manufaktur terhadap PDB 2023 meningkat dibanding 2022. Tren ini baru dua kali terjadi dalam 10 tahun terakhir. Pada kuartal pertama 2025, kontribusi industri pengolahan nonmigas terhadap perekonomian nasional meningkat menjadi 17,50 persen. Presentase ini naik dari periode yang sama tahun sebelumnya, yakni 17,47 persen, dan lebih tinggi dibanding rata-rata sepanjang 2024 yang berada di angka 17,16 persen
Han Revanda Putra dan Alfitria Nefi P berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Posting Komentar untuk "Apa itu Deindustrialisasi yang Dibantah Menteri Perindustrian"
Posting Komentar