Militer Ahli: Indonesia Harus Waspadai dampak Setelah Serangan Nuklir AS ke Iran

menggapaiasa.com, JAKARTA - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan serangan militer pihaknya ke tiga fasilitas nuklir strategis Iran yakni Fordow, Natanz, dan Isfahan pada Sabtu (21/6/2025).
Serangan tersebut juga telah dikonfirmasi oleh otoritas Iran beberapa saat setelahnya.
Sebelum serangan AS dilakukan, Iran pun menyatakan tidak akan segan-segan membalas bila militer AS turun tangan langsung membantu Israel menyerang pihaknya.
Eskalasi konflik tersebut diyakini berdampak luas pada stabilitas keamanan dan ekonomi global.
Lalu, apa yang perlu dicermati pemerintah Indonesia setelah serangan yang membuat AS terlibat langsung dalam konflik Israel versus Iran tersebut?
Pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mencatat serangan militer langsung yang dilancarkan AS terhadap tiga fasilitas nuklir Iran itu adalah babak baru yang sangat penting dalam eskalasi konflik Iran-Israel.
Menurutnya, hal tersebut bukanlah sekadar operasi militer terbatas, tetapi sinyal bahwa AS telah mengambil peran lebih aktif dalam konfrontasi terbuka dengan Iran, di luar dukungan intelijen dan logistik yang bersifat tidak langsung.
Dari perspektif keamanan global, kata Fahmi, keterlibatan langsung AS berpotensi memicu balasan tidak hanya dari Iran, tetapi juga dari jejaring milisi dan proksi Iran di kawasan.
Hal itu menurutnya meningkatkan kemungkinan meluasnya konflik ke kawasan yang lebih luas dan lebih tidak terkontrol.
Dalam konteks ini, kata dia, Timur Tengah kembali berada di ambang ketidakstabilan jangka panjang yang implikasinya akan menjalar ke luar kawasan.
"Apa yang perlu dicermati Indonesia? Pertama, dari sudut diplomasi, Indonesia perlu menunjukkan kepemimpinan moral yang selama ini menjadi ciri khas politik luar negeri kita, khususnya dalam isu perdamaian dan ketegangan dunia Islam," ungkapnya saat dihubungi menggapaiasa.compada Minggu (22/6/2025).
"Prinsip politik bebas-aktif bukan berarti pasif atau netral dalam situasi yang mengindikasikan pelanggaran prinsip-prinsip hukum internasional," lanjut dia.
Selain itu menurutnya, Indonesia perlu segera memperkuat komunikasi diplomatik dengan negara-negara kunci, termasuk OKI (Organisasi Kerja Sama Negara-Negara Islam) dan negara-negara sahabat di Timur Tengah.
Hal itu, lanjut dia, terutama untuk mendorong perlindungan terhadap warga sipil dan fasilitas vital serta meningkatkan peluang deeskalasi.
"Kedua, kita perlu mengantisipasi berbagai kemungkinan dampak tidak langsung, baik dalam jangka pendek maupun menengah. Lonjakan harga minyak dan gas akibat ketegangan di Selat Hormuz, misalnya, dapat memicu tekanan inflasi domestik dan meningkatkan biaya logistik serta produksi," kata dia.
Menurut dia, Indonesia juga harus mewaspadai meningkatnya risiko disinformasi dan ketegangan politik yang bisa dipicu oleh upaya aktor-aktor luar dalam mencoba mengkapitalisasi situasi global yang tidak stabil.
Oleh karena itu, kata dia, sistem deteksi dini, baik dalam arti pertahanan fisik maupun pertahanan non-militer seperti energi, pangan, dan informasi, harus diperkuat secara menyeluruh.
Ketiga, ungkapnya, dari sudut pandang strategis Indonesia perlu semakin menyadari pentingnya membangun ketahanan nasional yang bersifat multidimensi.
Ia mencatat krisis global saat ini semakin jarang berbentuk invasi militer konvensional, tapi lebih sering dalam bentuk tekanan ekonomi, perang informasi, sabotase digital, atau disrupsi rantai pasok.
"Serangan ke Iran ini menunjukkan bahwa fasilitas vital bisa jadi target serangan militer atau siber secara mendadak. Ini pelajaran penting bagi kita dalam memperkuat proteksi terhadap infrastruktur strategis nasional, baik di bidang energi, pertahanan, pangan, hingga digital," ungkap dia.
Terakhir, menurutnya posisi Indonesia secara geopolitik juga akan diuji.
Ia memandang konflik tersebut bisa memperkuat poros-poros baru dalam rivalitas global antara Barat dan Timur.
Sebagai negara yang menjalin hubungan baik dengan banyak pihak, sehingga menurutnya Indonesia harus memainkan peran sebagai penyeimbang yang kredibel dan independen.
Ia memandang hal itu sekaligus peluang untuk mendorong peran diplomatik yang lebih proaktif dan strategis di forum-forum internasional, termasuk G20, OKI, ASEAN, dan PBB.
"Jadi, serangan AS ke Iran bukan hanya soal militer atau geopolitik di Timur Tengah. Ini adalah pengingat bahwa krisis global dapat terjadi dengan cepat dan menimbulkan efek domino yang luas," ungkap Fahmi.
"Indonesia perlu menjaga kesiapsiagaan nasional secara menyeluruh (diplomatik, pertahanan, dan ekonomi), untuk menghadapi dampak langsung maupun tidak langsung dari dinamika global yang semakin tidak menentu dan kompleks," pungkasnya.
Posting Komentar untuk "Militer Ahli: Indonesia Harus Waspadai dampak Setelah Serangan Nuklir AS ke Iran"
Posting Komentar