Membangun Ketahanan Bangsa Melawan Hoaks Geopolitik
menggapaiasa.com - Disinformasi dan misinformasi secara global menjadi ancaman nyata bagi masyarakat dunia. Berbagai permasalahan menyebarkan hoaks untuk memecah pemahaman masyarakat, menjadikan kondisi ekonomi politik dan ekonomi yang tidak stabil.
Laporan terbaru World Economic Forum (WEF) Global Risks Report mengungkapkan bahwa disinformasi dan misinformasi menjadi ancaman global yang memiliki risiko paling tinggi hingga 2027. Dalam dua tahun ke depan, ancaman kecerdasan buatan akan meningkat untuk menyebarkan dan memproduksi hoaks.
Menurut laporan riset yang dilakukan tahun 2019 oleh Roberto Cavazos, profesor dari Universitas Baltimore bersama perusahaan keamanan siber CHEQ, kerugian ekonomi global akibat disinformasi sebesar $78 miliar per tahun. Angka ini kemungkinan jauh lebih tinggi saat ini, di mana perkembangan pesat teknologi seperti deepfake dan Generative AI semakin merajalela.
Kemudahan memproduksi konten dalam bentuk teks, gambar, suara, dan video (deepfake) yang palsu dapat dilakukan dengan mudah oleh Generative AI. Hal ini menyulitkan masyarakat karena konten yang tampak asli atau hyper-realistic. Akibatnya, akan memperburuk citra atau pihak tertentu tanpa adanya pertanggungjawaban yang semestinya.
Pada pemilu AS tahun 2024 lalu, sebuah video kampanye Kamala Harris dipalsukan menggunakan AI untuk membuatnya seolah-olah tidak dapat menjalankan negara. Video tersebut menarik perhatian setelah Elon Musk—Pendukung Trump, membagikan di platform X miliknya untuk menyesatkan masyarakat menjelang hari pemilihan.
Pakar forensik digital Universitas California, Hany Farid, mengatakan video tersebut menghasilkan suara yang jernih dan bagus, menunjukkan bahwa kekuatan AI generatif dan deepfake sangat berbahaya. Data responden AS pun menyatakan sebanyak 83,4% publik khawatir terhadap peran AI dalam menyebarkan disinformasi dan misinformasi dalam pemilihan presiden 2024.
Presiden Trump, sebagai pemenang dari pemilu AS tahun 2024 ketika menghadiri UFC 316. (Sumber: The White House)
Sementara itu, laporan WEF tahun 2025 juga menyoroti bias algoritma yang memperburuk penyebaran misinformasi. Algoritma yang digunakan oleh platform digital seperti TikTok dan Instagram sering kali memunculkan konten viral dan menarik perhatian, tanpa mengetahui sumber dan kejelasan informasinya. Informasi di zaman sekarang, dapat dimanfaatkan untuk memenuhi hasrat kita yang cenderung mencari konten untuk memancing kemarahan.
Majalah tempo pada 2024 melakukan penelitian terhadap platform yang paling digunakan untuk menyebarkan hoaks dari tinggi ke rendah antara lain Facebook, Instagram, dan WhatsApp. Sementara isu internasional, menjadi isu keempat dari jenis isu hoaks yang banyak terjadi. Urutannya dari tinggi ke rendah meliputi isu kesehatan (155 konten), isu sosial (136 konten), isu politik (111 konten), isu internasional (89 konten), sains (37 konten), dan isu keamanan (3 konten).
Kemudian, dalam catatan WEF pemerintah dapat mengambil alih kendali dan menekan informasi. Penyalahgunaan kekuasaan dan kebijakan ini dapat menyebabkan masyarakat untuk mengkonsumsi informasi akurat dengan dalih keamanan nasional dan kepentingan politik.
Pernyataan tersebut dibuktikan dengan studi tahun 2024, penggunaan disinformasi oleh pemerintah dalam konteks politik dan polarisasi di regional Amerika Latin dan Eropa. Di Spanyol, baik pemerintah koalisi sosialis maupun oposisi konservatif memiliki proporsi penyebaran informasi palsu yang serupa, masing masing sejumlah 70% dan 72%.
Di Amerika Latin, Venezuela hadir sebagai salah satu negara dengan pemerintah penyebar klaim palsu terbanyak. Penelitian ini dilaporkan melalui proyek V-DEM (Varieties of Democracy) oleh Universitas Gothenburg yang mengukur dan menilai tingkat penyebaran informasi palsu oleh pemerintah di 40 negara.
Lantas, ke arah mana implementasi AI sebaiknya bergerak? Apakah negara sebaiknya hanya menjadi regulator pasif atau fasilitator jangka panjang?
Kerangka Hukum, Kebijakan, dan Penegakan
James Comy, mantan direktur FBI, menjelaskan bahwa lingkungan politik yang terjadi saat ini bahwa fakta-fakta mendasar masih diperdebatkan, kebenaran mendasar dipertanyakan, berbohong dianggap normal, dan perilaku tidak etis diabaikan, dimaafkan, atau dihargai.
Data menunjukkan bahwa selama 10 tahun terakhir, warga AS difitnah, dipecat, didakwa, bahkan dipenjara karena menyuarakan pendapat mereka. Bahkan, baru-baru ini AS melakukan pencabutan visa mahasiswa internasional yang terlibat dalam protes dan dan dukungan terhadap Palestina. Kondisi ini tidak hanya terjadi di AS, namun di seluruh dunia.
Sejumlah negara sudah melakukan kebijakan untuk mengatasi hoaks dari pendekatan hukum, penjatuhan sanksi, hingga literasi. Misalnya, Brazil bertindak dengan membentuk gugus tugas pemerintah, rancangan undang-undang, dan kerjasama dengan sejumlah platform. Fokusnya adalah mengatasi misinformasi pemilu dengan pemberian sanksi terhadap pelaku.
Uni Eropa menjadi pelopor dalam mengesahkan regulasi disinformasi yang dibuat pada 2018. Instrumen yang menjadi kunci meliputi pengurangan perilaku manipulatif dan akun palsu, dukungan akes peneliti terhadap data perusahaan penyedia platform, dan peningkatan transparansi iklan politik. Undang-Undang Layanan digital juga diresmikan untuk memperkuat keamanan daring dan mencegah konten ilegal dan berbahaya.
Di Indonesia, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), pasal 28 ayat (3) yang mengatur penyebaran informasi bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat menjadi dasar hukum utama untuk menangani penyebaran berita hoaks. Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) juga secara aktif menyediakan layanan pengaduan konten negatif seperti .
Selain tindakan penegakan hukum, peran pemerintah dalam menanggulangi hoax adalah menyediakan sumber informasi kredibel, dan melakukan kolaborasi dengan media massa untuk mendorong praktik jurnalisme yang berintegritas.
Literasi Digital
Masyarakat global harus selalu berhati-hati terhadap informasi yang terjadi di tengah konflik militer dan perang saat ini. Ketika konten mengarah kepada ujaran kebencian, terhadap suatu suku, ras, maupun kelompok agama tertentu, kita harus waspada dengan melakukan verifikasi data. Jangan sampai mudah terpengaruh emosi, dan dimanipulasi oleh persepsi.
Digitalisasi yang semakin cepat, dan banyak masyarakat yang terpapar media sosial, menjadi tugas negara untuk mengupayakan peningkatan literasi digital. Data UNESCO berbicara sebanyak 763 juta orang dewasa di dunia ternyata kekurangan literasi digital. Secara singkat, literasi digital adalah kecakapan untuk menggunakan perangkat teknologi, informasi dan komunikasi, secara kritis, kreatif, serta inspiratif.
Literasi digital sangat diperlukan bagi setiap masyarakat global untuk berkomunikasi, mencari pekerjaan, dan memperoleh pendidikan. Forum Ekonomi Dunia menganggap literasi digital sebagai bagian dari perangkat keterampilan abad ke-21. Namun, banyaknya sistem pendidikan yang kurang baik, dari segi infrastruktur dan peralatan teknologi menjadikan literasi digital sangat mahal.
Dalam pengukuran tingkat literasi digital masyarakatnya, Indonesia hanya memiliki sejumlah 62%. Korea Selatan menyentuh angka 97% dan rata-rata negara di ASEAN sudah mencapai 70%. Oleh karena itu, perlu dilakukan percepatan untuk mengejar tingkat literasi digital di Indonesia, baik untuk yang masih sekolah maupun yang sudah dewasa.
Empat pilar dalam literasi digital meliputi digital skill, digital safety, digital culture, dan digital etic dapat ditingkatkan agar masyarakat tidak lagi menjadi korban kejahatan digital. Saat ini sudah ada lebih dari 120 organisasi yang terlibat dalam Gerakan Nasional Literasi Indonesia (GNLD). Bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja, namun kerja sama dari semua pihak dibutuhkan untuk membangun konsumen pintar.
Kolaborasi Multilateral dan Diplomasi Digital
Permasalah disinformasi yang meningkat seiring tensi geopolitik dan keamanan yang memanas di berbagai kawasan dapat melibatkan banyak pihak, tidak hanya negara, melainkan masyarakat, akademisi, perusahaan teknologi media sosial, dan perusahaan AI.
Pelaksanaan Internet Governance Forum (IGF) diselenggarakan oleh PBB untuk menyusun kebijakan publik digital di seluruh dunia. Dalam penyelenggaran ke-19 tahun 2024 lalu, IGF berfokus pada memajukan hak asasi manusia dan inklusi di era digital. Kedua, meningkatkan kontribusi digital untuk perdamaian, pembangunan, dan keberlanjutan. Ketiga, memanfaatkan inovasi dan menyeimbangkan risiko di ruang digital. Terakhir, meningkatkan tata kelola digital. Forum internasional ini diharapkan menjadi diskusi yang berkelanjutan, dapat memberikan kontribusi nyata terhadap masalah hoaks, meskipun bukan menghasilkan rekomendasi yang mengikat.
Para pemimpin dunia, sektor swasta, masyarakat sipil dan komunitas di berbagai dunia bersatu untuk mengatasi peluang dan resiko yang ditimbulkan oleh AI dan teknologi digital lainnya di acara Internet Governance Forum (IGF), Riyadh, pada 2024 lalu. (Sumber: Perserikatan Bangsa-Bangsa)
Perang yang masih menjadi salah satu pemicu pencemaran informasi di internet, terutama sejak perang antara Israel-Palestina yang meletus pada 2023 lalu memberikan keragaman misinformasi dan disinformasi nya dalam isu internasional. Pada April 2025, konflik antara India dan Pakistan kembali mencuat. Konflik antara wilayah Kashmir di masing-masing negara memang masih mengakar dalam selama puluhan tahun. Setelah pada 22 April Pakistan menyerang wilayah Kashmir yang berada di bawah India, India meluncurkan rudal ke Pakistan dan wilayah Kashmir yang dikelola Pakistan. Pesawat India telah menyerang kota-kota besar Pakistan dan instalasi militernya, dan saling menuduh bahwa Pakistan juga meluncurkan rentetan rudal dan pesawat nirawak ke kota-kota dan fasilitas militer India.
World Economic Forum menempatkan India sebagai negara yang paling berisiko terhadap misinformasi dan disinformasi karena peristiwa ini. Kabar palsu bahkan sampai mempengaruhi jagad digital di Indonesia. Contohnya, di X banyak tersebar video aksi militer Pakistan yang diklaim berhasil menembak pesawat Rafale milik militer India. Padahal, video yang beredar berasal dari potongan permainan video.
Disinformasi yang menyebar selama konflik militer ini dapat menjadi perhatian bagi pihak di seluruh dunia untuk mengatasi permasalahan ini. Kita harus mengajak banyak pemangku kepentingan di industri digital, bukan hanya pemerintah antarnegara.
Baru-baru ini beberapa Universitas di Indonesia juga menandatangani perjanjian dengan media Rusia, Sputnik, untuk melakukan praktik jurnalistik. Ini adalah bentuk nyata dari peran akademis yang mendukung peningkatan jurnalisme yang kredibel.
Google, sebagai platform teknologi raksasa terbesar, memberikan solusi dengan mencantumkan sumber informasi yang paling kredibel untuk ditampilkan paling atas di mesin pencari Google. Namun, masih kurang maksimal karena sekarang jawaban dari AI biasanya yang muncul paling awal atas pertanyaan yang kita ajukan di situs pencarian.
Di Filipina, para pelaku masyarakat sipil seperti kelompok media dan lembaga akademis memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan integritas fakta. Mereka meluncurkan inisiatif pengecekan fakta, kampanye literasi digital, dan program pendidikan pemilih. Namun, tanpa dukungan pemerintah yang kuat, kerangka hukum yang komprehensif, dan perubahan sistematik, solusi ini tidak akan berdampak besar dan memiliki dampak jangka panjang.
Kombinasi dari kebijakan pemerintah dan peran dari pihak pendukung dapat mensinergikan penangkalan hoaks. Dengan melakukan pemeriksaan fakta dan verifikasi sumber terlebih dahulu, kita akan terhindari dari bahaya hoaks dan menghindari permasalahan-permasalahan lain yang mungkin bisa ditimbulkan.
Hoaks geopolitik yang dapat mengganggu hubungan internasional dapat dimulai dari kita, sebagai masyarakat global untuk memiliki karakter yang kritis dan tidak bias terhadap sesuatu. Pilihan ini bukan sekadar kebijakan, melainkan manifesto untuk masa depan. Sudahkah Anda bersiap?
Posting Komentar untuk "Membangun Ketahanan Bangsa Melawan Hoaks Geopolitik"
Posting Komentar