'Max Havelaar' oleh Multatuli: Masih Segar Setelah 165 Tahun

menggapaiasa.com , Amsterdam - Max Havelaar , buku karya Multatuli, nama pena Eduard Douwes Dekker, yang menguak kekerasan pemerintahan kolonial Hindia Belanda di Indonesia, kembali diperbincangkan lagi setelah terbit 155 tahun lalu. Para ahli membahasnya dalam Simposium Internasional Multatuli di Vrije Universiteit, Amsterdam, Belanda pada Rabu, 18 Juni 2025.
Apa gunanya menelaah lebih jauh kehidupan pengarang kelahiran 2 Maret 1820 dan meninggal pada 19 Februari 1887 itu? “Jawabannya mudah. Menurut studi mutakhir tentang sastra berbahasa Belanda, Multatuli masih tetap dianggap sebagai penulis Belanda yang paling utama dan Max Havelaar sebagai karya sastra Belanda terbaik sampai sekarang,” kata Guru Besar Sastra Vrije Universiteit Jacqueline Bel kepada Tempo pada Rabu, 18 Juni 2025.
Max Havelaar; of, De koffi-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappy atau Max Havelaar, atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda terbit pada tahun 1860. Multatuli menulis novelnya berdasarkan pengalamannya sebagai aparatur sipil negara di Hindia Belanda. Kisah Saijah dan Adinda dalam buku itu sangat populer di kalangan pembaca Indonesia. Ini kisah dua remaja miskin yang berakhir nahas akibat aturan tanam paksa yang diterapkan di Hindia Belanda. Max Havelaar untuk pertama kalinya membuka mata publik Belanda tentang kekejaman kolonialisme.
Pengaruh karya Multatuli menyebar ke berbagai pelosok dunia. “ Max Havelaar adalah salah satu karya sastra Belanda yang paling banyak diterjemahkan ke dalam bahasa lain,” kata Jacqueline. Karya Multatuli telah diterjemahkan dalam lebih dari 40 bahasa.
Simposium ini menyorot terjemahan Max Havelaar di sejumlah negara di Asia, Eropa, dan Afrika. Satu terjemahan yang terbit tahun ini adalah dalam bahasa Afrikaans, salah satu bahasa resmi di Afrika Selatan. “ Max Havelaar masih relevan karena buku ini memaparkan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan dengan amat jelas,” kata Ena Jansen, Guru Besar Emeritus Bahasa dan Sastra Afrika Selatan di Universiteit van Amsterdam yang menerjemahkan Max Havelaar ke bahasa Afrikaans.
Max Havelaar adalah karya sastra Belanda yang paling banyak diterjemahkan di Prancis. “Antara 1876 hingga 2020, sudah ada lima terjemahan lengkap buku ini dan ini belum termasuk terjemahan karya Multatuli yang lain,” kata Philippe Noble, yang menulis versi terbaru terjemahan Max Havelaar dalam bahasa Prancis.
Lu Xun, penulis Cina yang paling terkenal di abad ke-20, bahkan pernah menerjemahkan dua karya pendek Multatuli ke dalam bahasa Mandarin pada 1924. Namun, terjemahan buku Max Havelaar dalam bahasa Cina baru terbit pada 1987 sebagai hasil karya Shi Huiye, yang juga dikenal dengan nama Jaap Sie. “Dia lahir di Indonesia dan melarikan diri ke Cina pada 1960-an,” kata sinolog Wilt Idema, guru besar emeritus di Universitas Leiden yang pernah mengajar di Universitas Harvard, Amerika Serikat
Yang cukup menarik adalah bahwa terjemahan Max Havelaar ke dalam bahasa Jepang pertama kali terbit pada Februari 1942, sebulan sebelum Jepang menjajah Indonesia. “Meski penerbitan buku ini didukung oleh Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Jepang, buku ini menghilang dari peredaran tidak lama setelah diterbitkan,” kata Ivo Smits, Guru Besar Seni dan Budaya Jepang di Universitas Leiden. “Ini mungkin karena Jepang adalah penjajah pada saat itu.”
Walaupun telah diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin dan Jepang, kata Ivo Smits dan Wilt Idema, karya Multatuli nyaris tak dikenal di kedua negara tersebut. Lain halnya di Korea Selatan, kata Myong-Suk Chi, yang memperkenalkan Max Havelaar di Negeri Gingseng lewat terjemahannya pada tahun 1994. “Begitu terbit, buku ini banyak diulas dan dibahas oleh media dan publik,” kata Myong-Suk. “Ini tidak disangka-sangka karena pada awalnya cukup sulit untuk menemukan penerbit untuk buku ini.”
Max Havelaar mengena di hati masyarakat Korea, kata Myong-Suk, karena negara itu juga pernaj mengalami penjajahan. Korea didukuki Jepang selama 35 tahun hingga 1945. “Orang Korea mengerti tentang kebangkitan nasionalisme dan sentimen anti-Barat.”
Menurut Myong-Suk, di Korea Selatan Multatuli kadang dijuluki sebagai “Shakespeare dari Belanda”. Max Havelaar juga dimasukkan ke dalam buku panduan sekolah menengah di sana dan tetap dibahas dalam berbagai klub buku dan blog.
Bonnie Triyana, sejarawan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), menekankan bahwa Max Havelaar yang bercerita tentang korupsi dan ketidakadilan itu tetap relevan sekarang. Banyak warga Lebak, daerah di Rangkasbitung, Jawa Barat yang menjadi lokasi kisah Max Havelaar , masih tetap miskin. “Kebanyakan anak di Lebak hanya mengenyam pendidikan sebatas sekolah dasar,” kata Bonnie, yang berbicara dalam simposium ini melalui Zoom dari Jakarta.
“Dua abad setelah Max Havelaar , banyak warga di sini masih hidup melarat. Kebanyakan petani tidak punya tanah sendiri dan harus jadi pekerja harian, yang kadang hanya dengan upah Rp 20 ribu,” kata Bonnie, yang lahir di Rangkasbitung.
Posting Komentar untuk "'Max Havelaar' oleh Multatuli: Masih Segar Setelah 165 Tahun"
Posting Komentar