Kolusi Antara Pengusaha Besar, Pejabat, dan Politikus: Rahasia Kemiskinan di Indonesia

menggapaiasa.com - Terjawab sudah mengapa masyarakat miskin Indonesia sulit untuk naik ke kelas menengah.
Ternyata hal itu disebabkan oleh kolusi yang dilakukan oleh pengusaha besar, pejabat, aktor politik.
Mereka ini ingin seolah ingin menguasai negara. Lewat kolusi yang membuahkan keuntungan saja bagi mereka.
Pada akhirnya masyarakat miskin terjebak hingga sulit naik ke level menengah.
Demikian diungkapkan Presiden Prabowo Subianto saat berpidato di forum The 28th St. Petersburg International Economic Forum (SPIEF 2025), Jumat (20/6/2025).
Ia mengatakan kemiskinan di Indonesia sulit diberantas karena kekayaan hanya dikuasai segelintir elite.
Menurut Prabowo, kelompok elite itu terdiri dari pengusaha besar, pejabat, dan aktor politik. Kolusi di antara mereka membuat masyarakat miskin terjebak dan sulit naik ke kelas menengah.
“Ada bahaya di negara-negara berkembang seperti Indonesia dari apa yang kita anggap sebagai bahaya penguasaan negara,” katanya
“(Yakni) kolusi antara pemodal besar dengan pejabat pemerintah dan elite politik. Pada akhirnya, kolusi antara kelompok ini tidak membuahkan hasil pengentasan kemiskinan dan perluasan kelas menengah,” lanjutnya.
Prabowo menolak model ekonomi kapitalis dan sosialis. Ia memilih jalan tengah untuk menggabungkan sisi baik dari keduanya.
Menurutnya, sosialisme murni gagal karena menciptakan ketergantungan. Sementara kapitalisme murni menghasilkan ketimpangan.
“Sosialisme murni, seperti yang telah kita lihat, tidak berhasil. Itu utopia. Sosialisme murni, kita melihat banyak peluang dan banyak kasus, orang tidak mau bekerja,” ujar Prabowo.
“Kapitalisme murni menghasilkan ketimpangan, menghasilkan hanya sebagian kecil orang yang menikmati hasil kekayaan,” sambungnya.
Prabowo menekankan pentingnya inovasi dan inisiatif dari sistem kapitalisme. Namun, ia menilai negara tetap perlu intervensi agar kelompok miskin tidak tertinggal.
“Kita ingin menggunakan kreativitas kapitalisme, inovasi, inisiatif. Ya, kita membutuhkan itu,” katanya.
“Tetapi kita membutuhkan intervensi pemerintah untuk mengatasi kemiskinan, mengatasi kelaparan, untuk campur tangan dan melindungi yang lemah,” tambahnya.
Perubahan Data Kemiskinan
Bank Dunia mengubah metode perhitungan kemiskinan global pada Juni 2025. Standar baru menggunakan purchasing power parities (PPP) 2021, menggantikan PPP 2017.
Perubahan ini berdampak besar terhadap data kemiskinan Indonesia. Berdasarkan dokumen “June 2025 Update to the Poverty and Inequality Platform (PIP)”, jumlah penduduk miskin melonjak.
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia per pertengahan 2024 mencapai 285,1 juta jiwa.
Dengan PPP 2021, jumlah penduduk miskin mencapai 68,25 persen atau sekitar 194,67 juta orang. Sebelumnya, dengan PPP 2017, angka kemiskinan tercatat 60,25 persen atau 171,74 juta jiwa.
Ikuti Filosofi Ekonomi Negara
Presiden Prabowo Subianto menegaskan pentingnya setiap negara merancang filosofi ekonomi sesuai latar belakang masing-masing.
Menurutnya, kunci keberhasilan sebuah negara bukan meniru sistem ekonomi negara lain, melainkan percaya pada pendekatan yang selaras dengan budayanya sendiri.
Ia mencontohkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stabil selama tujuh tahun terakhir. Namun, pemerataan kesejahteraan belum tercapai.
"Ya, (tumbuh secara total) 35 persen dalam tujuh tahun, tetapi kita belum berhasil mencapai apa yang disebut efek tetesan ke bawah. (Yang mana) Kekayaan tetap dikuasai orang-orang kalangan atas, (yang jumlahnya) kurang dari 1 persen," ujar Prabowo dalam pidato di forum The 28th St. Petersburg International Economic Forum (SPIEF 2025), Jumat (20/6/2025).
"Dan ini bukan rumus untuk meraih kesuksesan, menurut saya. Oleh karena itu, menurut saya adalah bahwa setiap negara harus mengikuti filosofi ekonominya sendiri, filosofi ekonomi yang selaras, dan yang dapat diterima oleh budaya dan latar belakang masing-masing negara," lanjutnya.
Ia menyinggung pengalaman negara-negara Asia Tenggara selama tiga dekade terakhir. Banyak dari negara tersebut, menurut Prabowo, justru gagal karena terlalu mengikuti kekuatan ekonomi besar dunia.
Mereka juga cenderung menganut sistem ekonomi dominan seperti kapitalisme neoliberal.
"Dalam 30 tahun terakhir, kita melihat dominasi filosofi pasar bebas klasik, kapitalis, neoliberal, yang pada dasarnya cenderung laissez-faire (minim campur tangan pemerintah)," ungkap Prabowo.
"Dan elit Indonesia mengikuti filosofi ini. Dan karena itu, menurut saya, kita belum berhasil menciptakan keadaan yang setara bagi semua rakyat kita," tambahnya.
Dalam sesi pleno SPIEF 2025 di St. Petersburg, Prabowo tampil sebagai kepala negara kedua yang menyampaikan pidato setelah Presiden Rusia Vladimir Putin.
Tokoh lain yang juga berbicara dalam forum ini antara lain Wakil Presiden Afrika Selatan Paul Mashatile, Wakil Perdana Menteri China Ding Xuexiang, dan Penasihat Keamanan Nasional Bahrain Nasser bin Hamad Al Khalifa.(*)
Posting Komentar untuk "Kolusi Antara Pengusaha Besar, Pejabat, dan Politikus: Rahasia Kemiskinan di Indonesia"
Posting Komentar