Alasan di Balik Penurunan Surplus Perdagangan Indonesia Hingga April 2025

menggapaiasa.com , Jakarta - Menteri Perdagangan atau Mendag Budi Santoso membeberkan penyebab jebloknya surplus perdagangan Indonesia per April 2025. Hal tersebut di antaranya karena penurunan ekspor akibat tertundanya pengiriman barang ke luar negeri akibat libur panjang.

"April itu sempat turun (surplus perdagangannya) dibanding Maret, karena awal April itu masih libur panjang, ekspornya tertunda. Dan, ramainya tarif Trump (Presiden AS Donald Trump)," kata Budi Santoso di Kementerian Perdagangan, Jakarta, pada Kamis, 26 Juni 2025, seperti dikutip dari Antara .

Sebelumnya Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan nilai surplus neraca perdagangan Indonesia pada April sebesar US$ 158,8 juta. Angka tersebut jauh lebih rendah apabila dibandingkan dengan surplus neraca perdagangan Indonesia pada Maret 2025 yang mencapai US$ 4,3 miliar.

Bila dirinci, per April 2025, nilai ekspor Indonesia tercatat sebesar US$ 20,743,8 juta atau turun 10,77 persen apabila dibandingkan Maret 2025. Meski begitu, bila dibandingkan dengan nilai ekspor April 2024 (yoy), ekspor pada April 2025 naik 5,76 persen.

Sedangkan nilai impor Indonesia April 2025 mencapai US$ 20,59 miliar. Angka ini naik 21,84 persen dibandingkan April 2024, dan meningkat sebesar 8,8 persen apabila dibandingkan dengan Maret 2025.

Sementara itu, data terakhir BPS menunjukkan surplus perdagangan pada Mei 2025 berbalik menguat, bahkan menjadi yang terbesar dalam dua tahun terakhir. "Kemarin Menteri Keuangan juga menyampaikan bulan Mei ini naik. Bulan Mei ini surplus terbesar dalam dua tahun terakhir," tutur Budi.

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini sebelumnya menyatakan komoditas penyumbang surplus per April 2025 lalu utamanya adalah yang pertama bahan bakar mineral, lemak dan minyak hewani atau nabati, serta besi dan baja.

"Pada saat yang sama, neraca perdagangan komoditas migas tercatat defisit US$ 1,35 miliar dengan komoditas penyumbang defisitnya adalah hasil minyak dan minyak mentah," ujar Pudji di Jakarta, pada Senin, 2 Juni 2025.

Ia menjelaskan neraca perdagangan kumulatif periode Januari hingga April 2025 mencatat surplus sebesar US$ 11,07 miliar. Surplus tersebut ditopang oleh surplus komoditas nonmigas yaitu sebesar US$ 17,26 miliar, sedangkan migas masih mengalami defisit sebesar US$ 6,19 miliar.

Proyeksi Ekspor Seiring Konflik di Kawasan Timur Tengah

Menteri Perdagangan Budi Santoso tetap yakin konflik Iran-Israel tidak memengaruhi kinerja ekspor Indonesia. “Sampai saat ini nggak ada pengaruh. Belum ada pengaruh dari situasi perang,” ucapnya. Apalagi, saat ini ketegangan antara Iran dengan Israel sudah mulai mereda.

Namun begitu, menurut dia, jika terjadi kontraksi ekspor di sektor manufaktur imbas konflik Iran-Israel, Kementerian Perdagangan sudah mengantisipasinya lewat diversifikasi pasar. Diversifikasi pasar dilakukan lewat disepakatinya perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif Indonesia-Uni Eropa (IEU-CEPA) dan kerja sama dalam pemenuhan kebijakan lingkungan Uni Eropa (UE).

“Sekarang kita (Indonesia) banyak alternatif pasar yang baru. Perjanjian yang sudah kami selesaikan. Perjanjian IEU-CEPA sudah selesai,” tuturnya.

Tak hanya itu, kata Budi, ada juga perjanjian perdagangan dengan Kanada yang sudah ditandatangani. Dalam waktu dekat, Indonesia juga akan menandatangani perjanjian dagang dengan Tunisia.

“Walaupun belum jalan, biasanya secara psikologis, mereka akan semakin banyak berhubungan antara pelaku usaha. Ke depannya, akan semakin banyak akses pasar yang lebih mudah,” kata Budi Santoso.

Sementara itu, peneliti dan analis kebijakan Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran meminta pemerintah tetap mewaspadai perang Iran dengan Israel yang berpotensi menggerus kinerja dan surplus ekspor Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah meningkatnya biaya pengiriman dan transportasi akibat ditutupnya Selat Hormuz oleh Pemerintah Iran.

Ia menilai penutupan jalur ini membuat kapal-kapal harus memilih jalur lain yang biayanya tidak seefisien pelayaran melalui Selat Hormuz. "Menurut Energy Information Administration (EIA), disrupsi di jalur ini akan berdampak besar terhadap pasar energi di Cina, India, Jepang, dan Korea Selatan," ucapnya.

Hasran juga menyebut ketegangan geopolitik antara Israel dan Iran yang meningkat telah menimbulkan kekhawatiran besar terhadap stabilitas perdagangan global. Salah satu dampak paling nyata dari konflik ini adalah potensi terganggunya pasokan minyak dunia.

Terganggunya pasokan minyak dunia, menurut dia, sangat mungkin mempengaruhi perdagangan Indonesia, baik dari sisi biaya logistik maupun permintaan dari negara mitra dagang utama. Apalagi Selat Hormuz merupakan jalur strategis yang dilalui sekitar 20 persen dari total transaksi minyak dunia pada tahun 2024.

Walaupun Amerika Serikat hanya mengimpor sekitar tujuh persen minyaknya melalui Selat Hormuz, menurut Hasran, potensi disrupsi terhadap pasokan global dapat menyebabkan pergeseran (shifting) permintaan minyak dari jalur tersebut ke produsen alternatif, termasuk dari Amerika Serikat sendiri yang juga terlibat dalam perang ini. Kondisi ini dapat mendorong kenaikan harga minyak dunia.

Kenaikan harga minyak ini akan berdampak secara langsung terhadap perdagangan Indonesia. Permintaan ekspor dapat terganggu karena biaya tinggi yang ditimbulkan dalam proses pengiriman logistik.

Posting Komentar untuk "Alasan di Balik Penurunan Surplus Perdagangan Indonesia Hingga April 2025"