OPINI: Mengapa Bendera Merah Putih Tetap Diperdebatkan

Bisis.com, JAKARTA - Pembahasan mengenai isu kebijakan pembentukan daerah terus berlangsung. Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes MP) masih menghadapi perdebatan. Pendukung dan penentang terus bermunculan dari segala kalangan, termasuk kelompok 'orang kecil'. Namun, pemerintah tampaknya percaya pada kebijakan yang melawan aturan alam membentuk koperasi tanpa batasan.

Diskursus ma­­­­sa­­­lah kebijakan pembentukan Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes MP) belum mereda. Ada pro dan kontra yang terus bermunculan dari berbagai kelompok masyarakat, termasuk hingga kalangan 'warga desa'. Namun, pemerintah tampaknya percaya diri dengan kebijakan mereka yang membangun koperasi secara universal meskipun bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar.

Penggerak gerakan koperasi termasuk diriku sendiri melihat bahwa pembentukan aturan tersebut dengan memanfaatkan armada koperasi merupakan sebuah kesalahan besar. Berbagai regulasi serupa di masa lalu belum berhasil meningkatkan reputasi perkumpulan karyawan seperti yang dialami oleh organisasi-organisasi semacam itu di negeri-negeri asing. Kejadian BUUD atau KUD dalam periode Orde Baru telah menciptakan catatan gelap ketika rezim presiden Soeharto berakhir.

Bermacam-masalah timbul dengan sejumlah KUD tutup dan meninggalkan utang, kebingungan mengenai hak milik atas harta benda, adanya tuduhan penyalahgunaan dana, selain itu juga menciptakan gambaran negatif dalam pandangan publik.

Sejujurnya, patut dikenali bahwa ada beberapa narasi tentang KUD yang masih bertahan hingga saat ini dalam menjalankan organisasi serta usaha mereka. Riwayat koperasi secara spesifik KUD sempat ditetapkan oleh pemerintah sebagai bagian dari strategi untuk mensupport program ketahanan pangan nasional. Ini membawa Indonesia kepada periode kedaulatan pangan tahun 1980-an dan memperoleh apresiasi nyata dari FAO lantaran mampu merubah posisi Indonesia dari status importir beras terbesar dunia menjadi eksportir beras pada masa Orde Baru.

Suharto mengembangkan sektor pertanian di Indonesia guna melawan kemiskinan, krisis pangan, serta tingginya populasi. Melalui otoritas kuat sebagai pemimpin dengan sistem sentra, beliau berhasil merombak industri agraris tersebut. Kooperatif Unit Desa (KUD) pun diposisikan sebagai mesin utama dalam hal ini, mendapatkan hak istimewa untuk menyediakan sarana dan perangkat produksi petani termasuk alat-alat bercocok tanam dan infrastruktur penyangga bagi budidaya padi.

Kebijakan mengenai pembangunan waduk, sistem irigasi, penempatan tenaga teknisi pertanian, serta pendirian kelompok petani dilaksanakan. Selain itu, kampanye edukatif disosialisasikan lewat saluran radio dan TV juga dijalankan. Tujuan yang spesifik dan terperinci ditetapkan bagi pemdes, camat, bupati/wali kota, serta seluruh institusi pemerintahan dengan tujuan mendukung proyek ketahanan pangan mandiri pada masa tersebut.

Pada saat yang bersamaan, ada pula narasi tentang berbagai upaya pengembangan ekonomi masyarakat melalui kooperatif dengan metode atas-ke-bawah di sejumlah daerah dan kota-kabupaten, namun hal tersebut hanya meninggalkan kegagalan serta menjadikan gambaran negatif terhadap kooperatif. Kooperatif perempuan pada masa Gubernur Soekarwo di Jawa Timur, Program 'Satu Kooperatif satu Desa' di Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur hanyalah kenangan lalu. Serupa dengan itu, kooperatif RW/RT di beberapat tempat pun gagal serupa. Berdasarkan observasi langsung, persentase kesuksesan kooperatif dalam skema semacam ini tak melebihi 1%.

Setiap koperasi yang dicanangkan oleh pemerintah menggunakan metode atas bawah dan bersifat formalistis telah gagal sebab kurang mampu merangsang pemahaman dan tanggung jawab sosial, serta rasa kebersamaan. Kegiatan koperasi tersebut hanya bertumpu pada dukungan infrastruktur dari pihak pemerintah tanpa adanya sentuhan kreativitas atau bahkan ide baru. Hal ini justru bisa melemahkan peran aktif para anggotanya, tak menyertakan pertimbangan terhadap tujuan-tujuan sosio-ekonomi, dan melawan berbagai aspek prinsip dasar pembentukan sebuah koperasi yaitu untuk menciptakan swasejahteraan dan mandiri.

Soal Pengurus Koperasi

Suatu kebijakan unik berasal dari salah satu menteri yang memberikan izin kepada para pensiun dan penganggur di pedesaan untuk berperan sebagai manajer atau administrator koperasi. Kebijakan ini tampaknya kurang rasional dan menunjukkan ketidaktahuan terhadap konsep koperasi serta cara mengelolanya dengan benar. Saya ingin mencatat tegas bahwa kesuksesan sebuah koperasi bukan hanya bergantung pada aspek-aspek seperti modal sosial, rasa percaya, dan kerjasama tim saja; namun juga diperlukan adanya pemimpin-pemimpin yang memiliki profesi yang baik, kreativitas, kemampuan inovasi, serta pengetahuan mendalam tentang struktur organisasi dan operasional koperasi secara umum.

Pak Presiden, jangan lagi menciptkan kebijakan yang menjadikan koperasi menjadi seperti koperasi pedati (yang datang dengan beban besar namun kurang mampu secara profesional untuk mengurus bisnis dan organisasinya), ataupun koperasi merpati (di mana koperasi terbentuk akibat dari keputusan pemerintah, sehingga dibuat oleh orang-orang petualang yang tak memiliki pengetahuan tentang pengelolaan sebuah koperasi).

Sebagai pemimpin dalam gerakan koperasi, saya menyajikan solusi yang praktis. Yang pertama adalah hindari menciptakan gambaran negatif tentang koperasi dengan membentuk Koperasi Desa Merah Putih, terlebih lagi jika menggunakan nama serupa, sebab pada dasarnya hal tersebut merupakan pemanfaatan politik untuk kepentingan koperasi dan tentu saja hasilnya akan gagal.

Kedua, jumlah koperasi di negara kita mencapai puncak tertinggi global hingga tahun 2023, yaitu sebanyak 131.617 koperasi yang melibatkan 30 juta anggota. Dengan demikian, akan bijaksana jika diterbitkan kebijakan untuk mengelompokan atau memfokuskan pada pembangunan koperasi berdasarkan ukuran bisnis dan daya saingnya dalam sektor usaha.

Selanjutnya, sisihkan Dana senilai Rp400 triliun ini guna menguatkan bisnis koperasi menurut kelompok ukuran dan bidang usaha mereka. Tujuannya adalah menjadikannya sebagai pemain utama dalam perekonomian yang dapat melayani anggotanya, atau rakyat secara umum, sambil juga meningkatkan total anggota yang ditetapkan oleh Kemendagri tahun 2029 hingga mencapai 65 juta orang.

Tidak perlu mengeluarkan uang sebesar Rp400 triliun tersebut kepada koperasi-koperasi yang telah ada, melainkan bagian dari jumlah tersebut dapat dialokasikan untuk tujuan-tujuan sebagai berikut: Pertama, menciptakan sistem pendukung dalam membangun struktur koperasi pada skala nasional maupun internasional dengan menerapkan serangkaian kebijakan dan program strategis yang fokus serta mudah dievaluasi; Kedua, mendirikan institusi penyedia modal guna perkembangan usaha koperasi karena bisnis koperasi memiliki ciri-ciri unik tersendiri; Ketiga, merancang pola perdagangan dan jalur akses pasaran bagi koperasi; Keempat, meningkatkan kemampuan manajerial para petinggi koperasi menjadi lebih professional; Kelima, melakukan peningkatan penguasaan teknologi termasuk teknologi informasi modern di lingkungan koperasi.

Apabila langkah yang dipilih oleh Bapak Presiden adalah jalur ini, maka proses mencapai kesuksesan dari kebijakan tersebut dapat dipercepat. Hal ini dikarenakan koperasi-koperasi yang telah memiliki pengetahuan praktik terbaik dalam pengelolaan organiasi serta menjalankan bisnis dengan basis anggotanya sudah cukup tangguh untuk bersaing saat ini.

Posting Komentar untuk "OPINI: Mengapa Bendera Merah Putih Tetap Diperdebatkan"