Apakah Pasangan yang Sering Update di Medsos Lebih Berisiko Putus? Ini Kata Ahli Psikologi

menggapaiasa.com Kita semua selalu berpikir bahwa segala kehidupan yang diunggah di media sosial sangatlah rapi dan terlihat bahagia, padahal itu hanyalah sebagian kecilnya.

Sosmed menyajikan fasilitas luar biasa dimana siapa saja dapat memperbarui kehidupannya sebaik mungkin. Sebagai contoh, hal ini terlihat pada momen romantis bersama pasangan.

Tapi begitu melihat mereka tidak update kemesraannya lagi di media sosial, kita selalu heran dan bertanya-tanya, seolah-olah tidak mungkin kalau mereka putus atau bahkan bercerai.

Menurut artikel di Small Business Bonfire pada Jumat (02/05), pasangan yang terlalu banyak memposting tentang keintiman mereka di media sosial cenderung memiliki risiko perceraian yang lebih tinggi. Psikolog menjelaskan tujuh poin penting berikut sebagai pembelajaran:

1. Sosmed sebagai tempat untuk mendapatkan pengakuan

Terkadang, media sosial cenderung mengurangi bagian membagikan kenyataan kehidupan seseorang dan justru lebih banyak mengejar pengakuan. Ini bisa berubah menjadi wadah di mana kita berusaha menyajikan gambaran gaya hidup idealis, bahkan soal hubungan pun demikian.

Jika pasangan secara berkelanjutan mengunggah hal-hal tentang satu sama lain, ini mungkin tidak hanya disebabkan oleh kebahagiaan yang timbul dari perasaan cinta. Justru bisa jadi mereka sedang mengejar validasi dari para pengikut online demi membuktikan ketersambungan dalam hubungan mereka.

Psikologi mengindikasikan bahwa kebergantungan pada pengakuan luar bisa jadi adalah tanda dari ketidakamanan atau ketidaksukaan yang mendalam terhadap suatu hubungan.

Sebagaimana kita pahami, apabila permasalahan ini dibiarkan tanpa penyelesaian, bisa jadi akan mengakibatkan masalah-masalah lebih serius di kemudian hari. Hal itu bukan bermaksud bahwa tiap sepasang pengguna yang saling menyinggung bakal mendapat kendala tersebut.

Namun, penting juga untuk mempertanyakan apakah unggahan tersebut berasal dari sumber kebahagiaan yang murni atau hanya merupakan usaha untuk menyembunyikan retakannya saja.

2. Beban untuk menjaga imej dalam talian

Awalnya semangat, namun perlahan-lahan hal-hal mulai bergeser. Secara tiba-tiba, muncullah beban tidak tertulis untuk menjaga imej pasangan ideal di media sosial.

Keinginan tanpa akhir untuk memperlihatkan keterikatan di media sosial sebenarnya lebih berfokus pada memberi kesan kepada orang lain dibandingkan dengan pemaparan kasih sayang antar sesama.

3. Ilusi keintiman

Memosting sering-sering mengenai hubungan di platform-media sosial kadang-kadang bisa membentuk ilusi kedekatan. Tembusan foto-foto bersama dengan caption yang romantis sepertinya menunjukkan ikatan yang erat antara dua individu tersebut.

Sosmed baru memperlihatkan sedikit bagian dari realitas suatu hubungan. Seperti mengamati hubungan itu lewat lensa yang dibuat dari kaca berwarna merah muda.

Anda menyaksikan senyum, pergi berlibur, dan makan malam yang romantis, tapi apa katakan tentang perselisihan, pengorbanan, atau momen-momen damai untuk saling mengerti?

Ketergantungan ekstrem terhadap media sosial untuk mengungkapkan kedekatan emosional bisa jadi pertanda dari kurangnya hubungan dekat di kehidupan nyata.

Mereka bisa jadi pasangan yang menggunakan jejaring sosial seperti sarung tanda api untuk menutupi diri, lupa menghadapi permasalahan riil di antara keduanya. Kedekatan sesungguhnya merujuk pada pemahaman dan penerimaan bersama akan segala kesempurnaan maupun kekurangan.

4. Masalah dalam Komunikasi Sejati

Walaupun menyenangkan untuk membagikan momen-momen bahagia dan kasih sayang kepada penggemar di media sosial, namun melakukan hal tersebut terlalu sering justru bisa mengganggu interaksi langsung dan memiliki arti penting antara kedua belah pihak dalam hubungan.

Apabila sepasang kekasih lebih sering membuang waktu untuk menciptakan unggahan yang sempurna atau menjelajahi komentar dan like, bisakah dikatakan bahwa mereka sebenarnya saling berinteraksi dengan baik?

Komunikasi yang terbuka dan jujur adalah landasan dari hubungan yang kuat. Tetapi jika media sosial mulai diutamakan daripada percakapan tatap muka, itu dapat mengikis fondasi ini.

Percakapan bermakna sambil menikmati secangkir kopi bernilai lebih dari seratus emoji hati di media sosial. Oleh karena itu, selanjutnya sebelum mengambil ponsel untuk berbagi foto diri dengan pasangan orang lain, pikirkanlah untuk meluangkan waktu dalam dialog nyata.

5. Persepsi vs kenyataan

Orang yang lebih sering memposting tentang pasangan mereka di media sosial lebih mungkin memiliki kepuasan hubungan yang lebih rendah. Pasangan mungkin memposting gambar bahagia dan pesan manis bukan karena benar-benar puas, tetapi karena mencoba meyakinkan diri sendiri dan orang lain bahwa semuanya baik-baik saja.

Inilah contoh tipikal perbedaan antara persepsi dengan keadaan sebenarnya. Saat berusaha mendeskripsikan hubungan ideal di dunia maya, sepasang pengguna justru bisa menomorduakan masalah-masalah aktual yang ada, sehingga menciptakan ketidaksenangan serta konflik.

6. Keperluan untuk area privat

Tiap orang, meski berada dalam ikatan cinta terdalam, tentunya butuh tempat sendiri-sendiri. Ini merupakan unsur penting bagi pemeliharaan jati diri serta kesehatan jiwa.

Bayangkan sekarang apabila sepasangan tersebut secara konsisten mengunggah hal-hal yang berkaitan dengan pihak lain di platform-media sosial. Menurut para psikolog, tindakan semacam ini bisa jadi merupakan indikasi dari ketidaktahuannya akan pentingnya menjaga privasi dan ruang masing-masing dalam suatu hubungan.

Kemudian jika salah satu pasangan merasa ruang pribadi mereka tidak ada, itu dapat menyebabkan ketidaknyamanan dan kebencian. Tidak apa-apa untuk menginginkan ruang dan waktu sendiri jauh dari pasangan.

Hal itu bukan berarti Anda kurang sayang pada mereka. Justru, menjaga batas pribadi yang baik bisa menguatkan ikatan antara kalian. Penting juga diingat bahwa tak masalah jika Anda enggan menampilkan semua detik dalam hubungan Anda di media sosial.

7. Nilai keaslian

Sosmed punya sisi positifnya, tapi soal hubungan cinta, tak ada yang melampaui kesungguhan. Posting terus-terusan tentang pasangan bisa jadi menciptakan gambaran cerita kasih sejati di depan publik, namun bila tiada dasarnya dari kenyataan, ini malah bisa menimbulkan rasa tidak puas.

Cinta sejati tidak ditentukan oleh jumlah like yang didapat dari sebuah foto atau seberapa sering orang berkomentar di status hubunganmu.

Ini berkaitan dengan saling mendukung dalam menghadapi baik suka maupun duka, menyadari kelemahan setiap pihak, serta berkembang bersama-sama.

Menurut laman Telkom University di hari Kamis (01/05), menerima diri sendiri secara positif memungkinkan individu untuk memahami serta menghargainya tanpa perlu tergantung pada pengakuan melalui media sosial, tempat yang kerap kali dipadati oleh standar-standar takrealistik.

Oleh karena itu, individu bisa membentuk perspektif yang lebih baik tentang media sosial dengan menggunakan platform tersebut hanya sebagai sarana komunikasi dan informasi, bukannya patokan untuk menilai harga diri atau tingkat kepuasan hidupnya.

Demikian pula dalam hal hubungan, jangan selalu menginginkan gambaran "target hubungan" yang sempurna karena realitasnya jauh lebih kompleks. Buatlah kebahagiaan bersama pasangan dan orang tersayang tanpa bergantung pada pengakuan media sosial.

Posting Komentar untuk "Apakah Pasangan yang Sering Update di Medsos Lebih Berisiko Putus? Ini Kata Ahli Psikologi"