8 Tanda yang Bisa Mengungkap Kenapa Seseorang Putus Kontak dengan Keluarga, Menurut Ilmu Psikologi

menggapaiasa.com Mengakhiri ikatan dengan famili merupakan suatu keputusan yang berarti—dan biasanya sangat menimbulkan rasa sakit.
Bagi orang luar, keputusan ini mungkin tampak ekstrem, egois, atau bahkan tidak masuk akal, terutama jika dilakukan tanpa peringatan.
Namun, dari sudut pandang psikologi, ada banyak faktor mendalam yang bisa menjelaskan mengapa seseorang memilih untuk menjauh secara tiba-tiba.
Tersembunyi di balik ketenangan dan kesendirian tersebut, biasanya terdapat luka batin, penumpukan perasaan frustasi, ataupun urgensi dalam merawat kesejahteraan psikis seseorang.
Menurut artikel di Small Biz Technology tanggal Jumat (2/5), ada delapan pola perilaku atau dinamika yang bisa menjelaskan alasan seseorang putus hubungannya dengan keluarga secara tiba-tiba, sesuai teori dalam bidang psikologi:
1. Keterbatasan Mereka Sudah Berlangsung Terlalu Lama
Banyak individu berusaha untuk tetap bertahan dalam ikatan keluarga bermasalah akibat dorongan dari lingkungan sekitar atau perasaan kewajiban.
Tetapi, ketika tekanan emosional telah mencapai puncaknya, keputusan untuk mengakhiri hubungan dapat terjadi dengan seketika.
Dalam bidang psikologi, hal tersebut dikenal sebagai "breaking point" atau titik di mana seseorang merasa sudah tidak memiliki opsi lain kecuali untuk membela diri mereka sendiri.
2. Mereka Menjadi Korban dari Pelecehan Emosional atau Verbal yang Tidak Diperhatikan
Tidak setiap tindakan penghinaan mudah dikenali.
Bila seseorang sering kali dihina, dituduh, atau dibohhoi dengan tipuan halus oleh orang dalam keluarga mereka, lukanya dapat berakumulasi dan bertahan hingga bertahun-tahun lamanya.
Tanpa adanya pengakuan atau pembenahan, para korban bisa saja berpikir bahwa cara terbaik untuk pulih adalah dengan mengakhiri semua hubungan, biasanya tanpa pemberitahuan, sebab mereka sudah capek tak kunjung disimpati.
3. Keluarga mereka menentang batas-batas yang sehat
Psikologi keluarga mengutamakan kebutuhan akan pembatasan atau boundary untuk memelihara relasi yang baik.
Akan tetapi, dalam berbagai keluarga, khususnya yang sangat konservatif, batasan sering kali dipandang sebagai tindakan pemberontak.
Apabila ada orang yang berusaha mengatur batas namun selalu diabaikan—seperti soal kehidupan pribadi, cara hidup, atau pemilihan pasangan—they mungkin akan mempertimbangkan untuk mengakhiri hubungan tersebut demi melindungi dirinya sendiri.
4. Mereka Terus Dijadikan "Sampah Karbon" Keluarga
Dalam kerangka teori dinamika keluarga, terdapat suatu kejadian bernama scapegoating di mana seorang anggota keluarga sering kali menjadi kambing hitam untuk semua peristiwa negatif yang muncul.
Pembagian peran tersebut sangat menurunkan martabat serta kesejahteraan psikologis individu.
Apabila seseorang menyadari pada akhirnya bahwa dirinya tidak dihargai dan cuma digunakan sebagai vent hal itu, mengakhiri hubungan dapat menjadi tindakan untuk merehabilitasi jati diri mereka.
5. Mereka Tak Pernah Dikenali Atau Disokong Secara Empati
Verifikasi emosional amat krusial bagi pertumbuhan aspek mental individu.
Apabila dari kecil mereka belum pernah merasa didukung, terus-menerus dikomparasi dengan kakak beradiknya, atau pencapaian mereka diremehkan, lukanya dapat menciptakan rasa pahit yang sangat dalam.
Pilihan untuk pergi mungkin kelihatan mendadak, namun sesungguhnya merupakan akibat dari berpuluh-puluhan tahun merasa tak diperhatikan.
6. Luka Batin dari Trauma Terdahulu Yang Belum Dituntaskan
Sebagian orang mengidap trauma dari masa kanak-kanak yang belum pernah dibicarakan atau diterima oleh keluarganya.
Selama terapi, banyak orang pada akhirnya mengenali bahwa mereka telah lama berada di bawah pengaruh pola kejadian traumatik yang berasal dari setting rumah tangga.
Apabila keluarga enggan mengobrol atau membenahi kekeliruan di waktu lampau, maka langkah mundur mungkin jadi solusi agar lukanya dapat sembuh dengan sendirinya.
7. Mereka Memulai Kesadaran tentang Pola Berbahaya Sesudah Mendapatkan Pandangan Baru
Terkadang, orang hanya menyadari bagaimana kurang keseimbangan hubungan dalam keluarganya ketika mereka bertemu dengan lingkungan yang lebih sehat melalui pasangan, teman, atau terapis.
Pandangan segar ini memperluas pemahaman mereka tentang pola manipulative, dominasi, atau ketimpangan kuasa di dalam keluarga.
Dan saat kesadaran tersebut timbul, mereka bisa jadi akan merasa tidak memiliki opsi lain kecuali pergi untuk memelihara diri sendiri.
8. Mereka Saat Ini Menyusun Kestabilan Kesehatan Jiwa
Psikologi kontemporer menyadari bahwa pemulihan jiwa kadang memerlukan kejauhan dari individu-individu yang menjadi asal kesedihan.
Bila seseorang memilih untuk mengakhiri suatu hubungan tanpa pemberian alasan, mungkin saja mereka tengah berfokus pada pengembangan diri, mencapai kedamaian batin, ataupun ingin menikmati kehidupan dengan lebih tenang dan terbebas dari konflik keluarga.
Pada berbagai kesempatan, hal itu tidak melibatkan kebencian, tetapi lebih kepada cinta terhadap diri sendiri.
Kesimpulan: Jarak Tidak Selalu Berkaitan dengan Kebencian
Walau tampaknya keputusan untuk mengakhiri ikatan dengan keluarga datang secara mendadak dan drastis, biasanya hal tersebut adalah akhir dari suatu periode berliku yang dipenuhi kesedihan dan pertimbangan dalam-dalam.
Di bidang psikologi, hal tersebut dikenal sebagai self-preservation—yaitu tindakan untuk mempertahankan diri dari situasi di sekitar yang secara berkelanjutan merugikan, termasuk bila kondisi tersebut datang dari dalam keluarga sendiri.
Sebaiknya kita mempelajari cara mendengarkan daripada menuduh. Tiap individu memiliki cerita pribadi yang tak kelihatan dibalik perilaku mereka.
Dan seringkali, kebisuan dan pergi menjadi cara terakhirmenunjukkan bahwa seseorang telah lama berteriak tanpa disimpati.
***
Posting Komentar untuk "8 Tanda yang Bisa Mengungkap Kenapa Seseorang Putus Kontak dengan Keluarga, Menurut Ilmu Psikologi"
Posting Komentar