Respon BPJPH Tentang Produk Berisi Babi, MUI Dorong Peningkatan Pengawasan Sertifikasi Halal!

menggapaiasa.com MUI menyatakan kebutuhan untuk memperkuat pemantauan atas barang-barang yang sudah mendapatkan sertifikat halal karena adanya ruang bagi penyalahgunaan serta kerugian bagi pembeli.
Menurut Ketua MUI Bagian Fatwa, Prof. Asrorun Niam Sholeh, pemantauan adalah fase penting dalam rangkaian penilaian halal. Akan tetapi, ada sejumlah kendala, termasuk regulasi yang belum tegas—seperti adanya izin halal yang tidak memiliki masa kadaluarsa—and serta keterbatasan alat untuk memantaunya dan ancaman pelanggaran dari pihak pelaku bisnis.
"Banyak lubang yang masih perlu diisi, entah itu akibat regulasi yang kurang ketat seperti sertifikasi halal berlaku selamanya, alat pengawasan yang terbatas, atau mungkin karena adanya kemungkaran dalam praktik bisnis," kata Prof Asrorun Niam Sholeh, Ketua MUI Bidang Fatwa, dilansir dari MUIDigital pada hari Minggu, 27 Juli.
Pernyataan tersebut dikeluarkan setelah BPJPH menemukan sembilan jenis makanan yang terkontaminasi bahan dari babi (porcine), sesuai hasil tes laboratorium. Di antara delapan produk lainnya, tujuh sudah mendapatkan sertifikasi halal.
Niam menyatakan apreasiasinya atas tindakan pengawasan oleh BPJPH, yang sebenarnya merupakan kewajiban institusi tersebut. Menurut dia, temuan ini makin menggarisbawahi kebutuhan akan supervisi yang berkesinambungan, bahkan untuk barang-barang yang telah memiliki sertifikasi halal.
Pada saat yang sama, kedua produk lainnya yang masih belum mendapatkan sertifikasi halal dinyatakan menyalahi UU Jaminan Produk Halal, di mana aturan ini mensyaratkan seluruh produk makanan harus memiliki sertifikasi tersebut.
"Kepala Badan Pengawas dan Penegak Hukum merupakan tanggung jawab pemerintah. Temuan tersebut makin menggarisbawahi kebutuhan meningkatkan pengawasan," tegas Profesor di Bidang Ilmu Fiqh dari UIN Jakarta itu.
Proses Sertifikasi dan Klarifikasi
Miftahul Huda, Sekretaris Komisi Fatwa MUI, menyebutkan bahwa tujuh item yang sudah memiliki sertifikasi halal sebelumnya telah melewati proses pengawasan ketat dari Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan diumumkan sebagai halal pada rapat Komisi Fatwa.
Barang-barang itu tergolong sebagai produk berisiko tinggi akibat adanya komponen gelatin di dalamnya; oleh karena itu, perlu dilakukan pengawasan yang ekstra keras serta tes laboratorium tambahan. Usai direvisi kembali, catatan pemeriksaan auditor dan data dari percobaan laboratorium membuktikan jika barang tersebut sudah sesuai dengan pedoman halal sebelum sertifikat keluar.
MUI setelah itu menghubungi LPH yang bersangkutan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut (tabayun). Akhirnya, audit tersebut dikonfirmasi sudah memenuhi standar, serta tes laboratorium kembali pada contoh produk usai sertifikasi pun memberikan hasil negatif.
"Dalam tahapan pemeriksaan itu, MUI mengharapkan penjelasan tentang proses serta evaluasinya untuk mengetahui letak permasalahannya. Ternyata ditemukan bukti bahwa auditor telah melaksanakan tugas dengan tepat, termasuk melakukan pengujian ulang di laboratorium pada sampel produk setelah mendapatkan sertifikat halal, namun hasilnya tidak positif," jelasnya.
Beberapa Kemungkinan Penyebab Temuan
MUI mengkaji sejumlah faktor potensial di balik laporan BPJPH, meliputi: pertama, adanya selisih dalam sampel antara tes laboratorium pada tahap penilaian untuk sertifikasi halal dibandingkan ketika diperiksa oleh BPJPH. Kedua, mungkin ada variasi dalam jadwal pengujian yang dapat menyebabkan hasil tidak seragam. Ketiga, bisa juga disebabkan oleh perbedaan dalam instrumen dan teknik pengujian. Keempat, mungkin terjadi modifikasi dalam campuran bahan setelah fase sertifikasi halal hingga ke tahapan produksi sesudahnya.
Kelima, ada potensi kecerobohan saat melakukan tes laboratorium. Keenam, mungkin saja terdapat variasi dalam standar dan metode pengujian antara produk-produk tersebut. Ketujuh, bisa jadi timbul persaingan yang kurang baik. Selain itu, masih banyak faktor-faktor lainnya yang harus ditelusuri lebih mendalam untuk memahami situasinya dengan lengkap.
"Perlu dilakukan investigasi lebih lanjut karena kami bertanggung jawab atas penyediaan jaminan keamanan bagi masyarakat. Harus dihindari kerugian yang dialami oleh umat akibat beredarnya barang-barang haram yang dikonsumsi. Namun demikian, harus juga dicegah dampak negatif pada pebisnis, sehingga tak ada penderitaan kepada orang-orang yang tidak melakukan kesalahan," katanya tegas.
Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI, Prof. Abdurrahman Dahlan, mengungkapkan bahwa ketujuh produk itu sudah melewati tahap sertifikasi dengan tepat. Akan tetapi, MUI membutuhkan laporan dari pengujian laboratorium BPJPH untuk menjadi acuan dalam pemeriksaan kembali.
Sampai sekarang, BPJPH belum mengirimkan dokumen itu, jadi keputusan fatwa tentang halalnya suatu produk tetap berlaku.
Audiensi dengan Pelaku Usaha
MUI sudah berdiskusi dengan keempat perusahaan yang barang mereka diketahui terdapat DNA hewan babi. Perusahaan tersebut memaparkan bahwa mereka belum mendapatkan laporan tes dari BPJPH dan saat melakukan pemeriksaan sendiri di sejumlah tempat pengujian, bahkan ada yang milik badan usaha milik negara (BUMN), hasilnya adalah negatif.
Agar permasalahan dapat dipahami dengan baik, MUI berencana mengajukan permohonan terkait dokumen formal dari BPJPH guna mendapatkan landasan pada proses peninjauan kembali tentang status kehalalan suatu produk. "Selain itu, MUI juga ingin menerima laporan hasil pengujian laboratorium yang dijadikan acuan secara syariat dalam rapat pembahasan halal, dan mereka pun berniat untuk mengambil contoh produk tersebut untuk dilakukan tes laboratorium lagi. Ini semua merupakan komponen penting dari tugas dakwiyah serta wewenang MUI," ungkapnya.
Posting Komentar untuk "Respon BPJPH Tentang Produk Berisi Babi, MUI Dorong Peningkatan Pengawasan Sertifikasi Halal!"
Posting Komentar